Friday, March 27, 2009

HUJAN DAN RIAP KABUT


photo by anindyarahadi
photo by anindyarahadi (diedit agar kabut lebih terlihat)
Hari ini, seperti hari-hari kemarin…
Aku mengamati hujan turun di depan pintu kamar. Aku bukan peneliti hujan tentu saja, bukan juga pelukis hujan, aku hanya pengamat yang kebetulan sedang jatuh cinta oleh derap hentakan lembutnya di genting yang kurasai. Yang terpana ketika mendapati hujan saat itu tengah indah, tak seperti kemarin-kemarin. Tidak terlalu deras kejam hingga menimbulkan takut berselip panik, tidak juga begitu tipis merinai dan kita perlu begitu menajamkan penglihatan untuk bisa merasai kehadirannya yang membisu.
Hujan kali ini begitu indah, dan aku bisa melihat kabut yang meriap diantara dentaman musik merayakan jatuhnya ke bumi, menyuarakan kegirangan atas kesempatan bersua dengan endapan batuan dan daun-daun dan kepik mungil.
Riapan kabut itu, baru kali ini aku merasakan dia ada dan membisik halus dari penampakannya yang begitu tipis, kabur dan lembut. Membaur dengan derai hujan. Kesejukkan yang turut turun melebur, dan aku enggan beranjak dari posisi bersedekap memeluk lutut di ambang pintu.
Aku ingat, hujan pernah menghadirkan perasaan kacau yang tidak menyenangkan sebenarnya…, aku pernah membenci pada saat yang sama dengan jatuh cinta pada rintikan yang turun.
Aku melupakan kapan tepatnya saat itu ada dengan sengaja, entah kapan bertahun lalu ketika aku berdiam di tempatku dan hujan turun tanpa pandang resahku, bergelimang membanjiri aspal serta membasahi semua yang ada. Rinainya deras dan terasa jahat saat itu. Sempat terhenti sejenak, hingga harapanku menyata kemudian menghablur kembali ketika derapnya lebih keras dengan angin yang kencang memadamkan lampu seluruh kota. Kamu belum juga datang menepati janji.
Harapan tipis itu sudah berhasil menyatu tanpa wujud dengan udara, dari nafas yang keluar disertai pecahnya tangis bisu.
Yang aku tahu saat itu…
Dan hujanpun turun.
Deras dengan garangnya dan gelora kabut yang baru kusadari ada menyertai.
Membawa lari kamu........

dari aku.......

~~~~*saat melihat hujan diambang pintu*~~~~~




P.S. untuk dia yang datang pertama kali, dan pergi pertama kali juga. Karena kamu,aku melihat banyak hal dari sisi yang berbeda. Dan menjadi lebih mengerti akan apa yang harus ada dan berakhir. Setidaknya aku tau, keterpisahan kita adalah satu hal yang logis ada. Aku sudah memaafkan kamu sejak lama, dan merasa lapang karenanya. Apapun itu, terima kasih :)

Saturday, March 21, 2009

AKU JATUH CINTA DALAM MIMPI

Aku jatuh cinta…
Aku jatuh cinta pada selaksa lengkung garis senyum disudut wajahmu. Aku jatuh cinta pada jarak panjang yang harus dilewati untuk menatapi inti gelap bola matamu.
Aku jatuh cinta pada tetes embun yang kamu bawa langsung, mengenyahkan segala udara yang mengeriut dalam hening jeda yang menyebalkan.
Aku jatuh cinta pada lingkaran tanda kurang tidurmu, aku jatuh cinta pada caramu membuat aku merasa aku ada. Bukan segenggam angin bisu yang cuma bergerak sesekali, cuma mampu membuat rumput kecil melalai sejenak.
Aku jatuh cinta pada aura murammu yang nampak sesekali, cara kamu menundukkan kepala dan seketika memerangkap aku dalam kedalaman tanda tanya senyap.
Yang penting aku tahu, aku tidak sedang jatuh cinta pada cermin. Membelai tiap sudutnya dengan senyum tertahan, merabai kemungkinan merajalelanya putus asa.
Jatuh cinta padamu seperti terantuk kaki meja, merasai gelenyar sakit yang menusuk-nusuk tiba-tiba tapi mengasyikkan.
Kamu membuat paruhan di rongga dadaku – hati merasa diakuisisi.

DI TENGAH FESTIVAL - a short story by anindya rahadi

Festival yang penuh sesak, manusia-manusia berjejalan. Turut serta kucing dan ayam di sela kerumunan di depan gedung, nampak kebingungan dengan bising yang tak biasa. Festival home band kampus. Beberapa waktu lalu baru saja Fi membaca prosa firasat dari buku Rectoverso yang ditulis Dewi Lestari. Entah mengapa, sejak beberapa lama ia kemudian sadar sesuatu dalam prosa itu mungkin saja terjadi pada dirinya, Fi sudah merasa akan ada yang terjadi sebentar lagi. Ada yang samar memberitahu ini kejadian yang sudah dia perkirakan. Tapi diusirnya pikiran itu lekas, sepertinya Fi bukan jenis manusia yang sepeka itu hingga diberi pertanda sebelum peristiwa itu menyeruak. Lihat saja kebebalannya yang sering lambat menangkap maksud dan isyarat.

Tidak ada bukti akan terjadi, dan Fi takut pada sekelumit bagian hatinya yang menginginkan potongan itu hadir di depan mata. Entah… ia tidak tau apa ini memang murni kehendak hati ataukah cuma keinginan untuk membuktikan bahwa ini bukanlah suatu cobaan yang patut ditakutkan. Karena Fi bukan tak sendiri. Meskipun Bintang berada pada tempat yang berbeda dan rentang jarak yang tidak bisa dibilang dekat. Perlu mencuri waktu diantara segudang aktivitas mereka untuk bisa saling menyapa dan menangkap sosok masing-masing.

Menyadari alasannya hadir disini bukan lantaran dia suka berada ditempat ramai seperti layaknya di festival ini, hanya demi menonton teman sekelas sejak semester dua turut serta di ajang lomba. Teman sekelas sekaligus teman baik, yang mau berbaik hati untuk kadang-kadang menampung sampah hatinya, atau membantu Fi menguraikan deretan angka di buku yang penuh sesak dengan bilangan. Fi selalu butuh keramaian dan mengakui dalam hati jika ini demi menghilangkan berbagai macam pikiran buruk yang melanda. Tapi Fi tidak pernah nyaman berada di dalamnya, jenis keramaian yang biasa dia pilih untuk berada disana juga biasanya tidak sejenis ini. Ramai yang lebih bisa membuat ia tidak merasa menjadi alien di dalamnya.

Dan Fi menjadi salah satu dari berjubel orang yang repot-repot mau datang dan menonton dengan motivasi masing-masing berbeda. Matanya mencari, mencari satu sosok yang merupakan pembuktian apakah apa yang ia rasakan benar atau salah. Ia tidak berhasil menemukannya dimana-mana, ternyata hati kecilnya salah. Hmmmh, keras-keras Fi menghembuskan nafas dengan setengah lega. Kini dia tak perlu kuatir akan apa-apa dan merasa cukup tenang.

Hampir semua orang turut serta berbalur dalam keriaan ini, terbahak dan mengangguk-angguk mengikuti irama atau bergoyang. Fi tergolong manusia kikuk yang lebih baik melarikan diri ketimbang menikmati irama dalam dansa. Dia tersenyum dalam termenung dan muram. Terbayang banyak hal, banyak sekali termasuk Bintang, dan ‘dia’… yang membuat Fi sempat terpesona dulu.

Mendadak Fi terpaku ketika tiba-tiba saja matanya menangkap sosok ‘dia’ di barisan belakang, nampak baru saja melibatkan diri di arena jubelan manusia yang bukan main padat ini. Senyuman yang sama, tatapan yang sama dengan bertahun lalu. Dia berdiri disana, dan ditengah keramaian festival mendadak Fi tidak ingin berbuat apa-apa kecuali memandanginya dari tempatnya berada saat ini. Senyuman yang sempat mematikan sel otak Fi, membuatnya menjadi manusia paling aneh dan memalukan dengan merona hanya karena dia mendekat.

Fi tidak tahu kenapa bisa meletakkan hatinya pada dia yang sekarang tengah ditatapnya. Semua serba buram dan ia hanya tahu terlalu banyak wanita yang menaruh perhatian lebih pada dia, berusaha merebut perhatian dari dia dan malangnya, Fi termasuk. Segala hal terlihat sangat menarik, dia orang baik yang penuh daya tarik pesona. Hati Fi tak cukup bisa bertahan dengan itu. Ia jatuh cinta. Belakangan ia mendapati ternyata dirinya jatuh hati karena kemiripan raut wajah dia dengan Fi Biangliliana. Entah… apa itu berarti Fi jatuh cinta pada diri sendiri atau karena terobsesi dengan isu yang mengatakan kemiripan antara dua jenis manusia bisa berarti meant to be? Perasaannya terhadap dia adalah perasaan aneh tak berbalas yang paling membekas dalam ingatan.

Fi dulu selalu suka mengamati dia dari kejauhan, mengamati tanpa mau dia tahu Fi memperhatikan segala tentangnya, menunduk saat tanpa sengaja mata saling menangkap. Sudah bertahun-tahun sejak semua itu nyata. Dan Fi bukan lagi sosok messy look yang sama sekali bukan siapa-siapa, yang jarang mendapat pengakuan atas eksistensi. Fi yang dulu sering muluk membayangkan orang tipe begini bakal jatuh cinta dengan Fi, orang yang tipe begitu, orang yang seperti di tv... yang seperti Synyster? Ehm, kurang lebih seperti itu.

Fi semenjak sekitar setahun lalu telah menjadi stasiun tempat cinta datang dan pergi. Mulai kerepotan dengan sms yang membanjir, telepon yang menunggu diangkat dan tawaran mengantar ke berbagai tempat dari orang-orang yang bukan teman baiknya. Status single yang ia sandang membuatnya sedikit banyak menikmati ini, meski sering merasa tidak nyaman. Fi tidak pernah merasa suka berdekatan dengan teman yang kemudian ia tahu menaruh hatinya pada Fi dan ia sendiri tidak merasakan hal yang sama. Mendadak Fi selalu ingin menjauh dari jangkauannya, melarikan diri seperti narapidana takut mati.

Semua menjadi lebih mudah dan berjalan baik ketika Fi memiliki Bintang. Ia tidak perlu khawatir dan merasa tidak nyaman lagi dengan semua orang yang menelepon, mengirim sms atau mengunjungi. Tidak perlu ketakutan dan merasa tiba-tiba sebal dan ingin marah. Karena ada Bintang, alasan utama Fi. Danau yang menampung aliran sungai hatinya. Pelindung saat dekat dan saat jauh meskipun kadang Bintang tidak menyadari. Orang yang membuat Fi melihat banyak hal dari sisi yang berbeda, yang membuatnya benar-benar terjatuh dalam cinta. Yang benar-benar bisa membuat Fi merasa dicintai tanpa merasa ingin lari.

Dan dia yang saat ini Fi pandangi, membuat hatinya tiba-tiba tergelitik untuk menyapa tapi tidak tahu bagaimana caranya. Fi mengirim pesan singkat ke ponselnya, memberi tahu kehadirannya ditempat yang sama dan ternyata itu cukup membuat dia mencari-cari Fi. Cukup lama,hingga akhirnya dia berhasil, mata mereka bertemu dan saling melempar senyum dan mengirim sapaan lewat mata.

Beberapa saat lamanya Fi merasa semuanya berbalik, histeria bodoh yang disebabkan dia empat tahun lalu membumbung. Rasanya begitu mirip dengan masa itu, band yang memainkan musik, Fi yang diam dan jarang terlihat tertarik dan acuh tak acuh dengan apapun yang dipertontonkan, dan dia yang terlihat excited. Fi tak pernah sepenuhnya tertarik dengan musik yang dimainkan, Fi hanya memperhatikan dia. Senyuman dan mata yang bercahaya, seperti menemukan oase dari kehidupannya sendiri.

Ada banyak hal yang mirip dengan empat tahun lalu, banyak sekali. Dan Fi masih bisa merasakan histeria yang pernah ada meski dalam jumlah yang jauh tidak sama dengan yang dulu, atmosfer membahagiakan saat momen-momen seperti ini terjadi. Seperti membongkar file yang tidak pernah dibuka sejak lama dalam komputer tua. Entah apa pendapatnya saat ini tentang Fi, entah bagaimana caranya menilai Fi. Entah… hal itu menjadi sangat tidak penting untuk dipertanyakan saat ini.

Dia masih disana, tatapan mata bercahaya seolah hidup dan menghanyutkan yang masih sama, senyum yang masih sama yang dulunya Fi kagumi. Fi juga masih disini, berada pada jarak terjaga dengan dia, masih menatap sosoknya yang seperti magnet menarik untuk didekati dalam padatnya keramaian. Tapi saat ini, Fi tahu semua hanya terlihat sama seolah rekonstruksi kejadian masa yang telah lama lewat. Karena Fi tidak lagi menatap dan memandangi dia dari cara pandang yang sama, Fi tidak lagi tersenyum dan merasakan hatinya menghangat ketika menemukan dia, Fi tidak lagi mendapati mendadak wajahnya merah padam ketika tanpa sengaja beradu pandang. Hatinya berubah dan mendadak merasa ia lega mendapati ini.

Sebelum Fi pulang, sebelum festival selesai… dia sudah tidak ada disana. Seperti posisinya dalam hidup Fi yang ‘mampir’, cuma sebentar dan sudah berlalu. Tidak ada lagi. Hati dan hidup Fi seperti festival ini, yang dia kunjungi dan setelah itu pergi. Fi tertawa giris dalam hati, ternyata semua hanya butuh waktu yang nantinya akan menggerakkan segala. Dulu Fi memohon-mohon pada waktu agar mengalir deras dan membuatnya sembuh dari kegilaan itu. Ternyata waktu mengabulkan permohonan Fi, menyadari tanpa dia Fi tidak akan apa-apa. Ia baik-baik saja dan masih hidup hingga sekarang, bukannya bunuh diri atau apa.

Ponsel Fi bergetar, pesan singkat dari Bintang menyapa matanya. Iya, Fi sekarang memiliki pengirim pesan singkat itu. Fi berharap jika dengan Bintang – tujuannya mengirim pesan balasan saat itu, waktu berhenti selamanya di tempat saja.


###TAMAT###
Untuk Sofi Aisyah.

Friday, March 20, 2009

MIMPI

Kemana kita pergi ketika kita sedang bermimpi?

Apakah seperti yang orang bilang bahwa ketika kita tidur dan bermimpi, jiwa kita akan terbang kemana-mana menemui orang-orang yang mungkin ingin kita temui atau orang-orang yang tengah kita pikirkan? Atau jiwa-jiwa orang yang sedang bermimpi itu punya tujuannya sendiri, dunia yang diperuntukkan kepada mereka untuk berinteraksi dan membuat kisahnya sendiri di situ. Mereka mengukir dan bermain dalam drama yang diciptakan untuk mereka, dan itulah yang kita lihat dalam kondisi tidak sadar, skenario-skenario bak drama yang diputarkan ke dalam pikiran kita.

Kita melihat, kita di situ bisa menjadi apa saja, bisa jadi selalu berbeda tiap harinya. Kadang dunia yang kita lihat saat sedang tidur itu waktunya jauh lebih berputar cepat – entah berapa puluh ribu sekon – dari dunia yang ada ketika kita terbangun. Mendadak waktu jadi malam, mendadak sore, mendadak lagi-lagi pagi. Seperti sebuah slideshow atau tampilan roll film yang di dalamnya ada beberapa slide yang hilang hingga segala yang terjadi bisa mendadak dan mengejutkan.

Kita selalu melihat drama-drama dalam mimpi, kisah yang diputarkan. Kita bisa melihat itu, kita diijinkan untuk melihat itu. Tapi bagaimana proses mimpi itu ada dan kita lihat, potongan-potongan adegan itu kita rasai, kita seolah tidak diijinkan untuk tahu.

Tahu-tahu setelah kita memejamkan mata… slaappp!!! Langsung kita ada disana dan menjalankan peran kita. Lantas bagaimana? Bagaimana cara kita bisa sampai kesana? Bagaimana kita kadang bisa bertemu orang yang tidak lagi hidup di dunia tempat kita tinggal dalam keadaan sepenuhnya sadar? Apa itu cerminan dari apa yang kita pikirkan? Atau… apa?

Bagaimana orang yang bermimpi bisa berada didunia tempat dia seharusnya ada untuk melakonkan peran? Bagaimana bisa orang yang bermimpi dan mengalami sesuatu yang agak kebablasan di dalam mimpinya bisa sampai meninggal dalam tidur?

Apa yang terjadi pada sosok kita di dalam dunia mimpi? Apa… apa? Apakah mimpi termasuk dari sesuatu yang misterius dan magis, tak tersingkap penelitian dari siapapun? Atau memang mimpi tak terjamah, sebuah pertanyaan besar bagi sebagian besar orang dan mungkin semua orang tapi tak mempunyai daya tarik yang cukup untuk membuat orang mencari jawabannya?

Maka, terlalu kurang menarikkan mimpi… atau malah terlalu sukar dan menakutkan…

Untuk diangkat?

DAN PELANGI TAK PERNAH PERGI - a short story by anindya rahadi

Siapa yang pernah tau kalau sebuah pelangi tak pernah berhenti menanti saat pertemuannya dengan langit? Siapa yang tau ketika waktu itu akan tiba dia selalu menghias dirinya dalam balutan warna yang indah... tidak ada yang pernah tau.
Langit juga masih membisu, menatap arakan anakan meganya dalam diam. mungkin dia tidak pernah sadar, Pelangi tengah mempersiapkan diri untuk bertemu dengannya. meskipun hari tanpa hujan dan matahari begitu garang... Pelangi tak pernah lelah berharap... kalau hari bisa mendadak mendukung untuk keberadaan hujan. maka dia akan muncul dan pertemuannya dengan langit akan terjadi. setelah sekian lama dia siapkan... dengan penantian yang begitu panjang... demi langit yang tak pernah datang memenuhi janji.
Pelangi adalah lambang ciptaan masa lalu, simbol keanggunan seorang gadis. dengan rambutnya yang segelap malam, bercahaya bagai bintang, matanya yang cokelat, wajahnya yang penuh dengan binary cahaya dan bibirnya yang sewarna goresan krayon merah.
Sementara langit adalah symbol keberanian, sedikit menjurus pada kenekatan yang membutuhkan pengorbanan besar. Langit mempunyai segala hal yang Pelangi inginkan.
Awal pertemuan Pelangi dengan langit seperti sebuah episode yang telah direncanakan dengan matang dalam sebuah scenario. Hanya selintas pandangan mata dan arti Langit bagi Pelangi adalah senilai sepotong roti saat dia kenyang. Tidak ada yang istimewa yang bias menarik perhatiannya. Roti adalah benda biasa, seberapa menggoda seleranya dia… jika kita sedang kenyang… tak ada yang bisa menarik perhatian.
Tidak ada yang akan mengira kalau pertemuan itu menjadi sesuatu yang sebelumnya tidak pernah pelangi kira. Mimpi-mimpinya tentang langit datang dan pergi… terasa terlalu indah untuk disebut mimpi. Pelangi jadi menantikan saat-saatnya dia berbaring di atas tempat tidurnya dan menatap langit-langit. Membayangkan apa yang akan dia peroleh ketika memejamkan mata.
Apakah saat-saat itu akan datang lagi? Saat dalam kegelapan tidurnya dia melihat langit, tersenyum padanya dalam senyum yang kelewat indah… lantas langit mengulurkan tangannya untuk menyambut tangan Pelangi. Saat-saat yang ingin selalu diingat Pelangi sekalipun itu hanya mimpi. Kenapa langit bisa begitu memesona sekarang dimatanya?
Cinta memang aneh. Datang sembarangan, pergi juga sembarangan. Tak pernah diundang tapi selalu datang… selalu jatuh pada orang-orang yang sebelumnya kita tak memiliki persangkaan khusus padanya.
Dan Pelangi mulai sering ingin makan gado-gado, hanya karena dia tau kalau Bi Encah berjualan gado-gado didepan rumah Langit. Begitu sering mondar-mandir dihadapannya saat lelaki itu duduk diruang tamu rumahnya untuk bertemu Adam, kakak Pelangi. Niatnya jelas… memperoleh perhatian Langit.
###
Tuhan masih begitu sayang pada Pelangi… Dengan segala karunia keelokannya, perasaannya begitu beruntung karena mendapat sambutan. Cintanya pada Langit berbalas setelah demikian banyak perjuangan menempuh ombak besar yang dia lakukan.
Dan ketika malam itu Langit duduk disampingnya, berada dibangku yang sama dan menatap langit pada malam yang sama… malam dengan air yang bertebaran. Malam dengan hujan. Pelangi merasa bisa saja dia jadi melumer selayaknya eskrim. Berdekatan dengan Langit membuatnya merasa seperti meleleh.
Pelangi ingin berbicara, dan menatap Langit dengan senyuman. Meneliti setiap perasaan aman yang juga dia rasakan bersamaan dengan rasa meleleh. Tapi Langit hanya diam… seperti mencoba mencatat akan apa yang dikatakan bintang, meresapi tiap sudut rasi dan menatap lekat rembulan.
“Kenapa? Kau sepertinya begitu tersiksa? Apa bersamaku merupakan beban?” Pelangi bertanya dengan wajah cemas. Berharap Langit akan menyalahkan dugaannya.
“TIdak begitu.” Langit berkata datar… “aku hanya akan meninggalkanmu.”
Pelangi terbelalak, “Jadi selama ini….”
“Bukan… ini bukan seperti yang kaupikirkan,” Langit menatap lekat kedua manik mata Pelangi. “aku hanya akan pergi sebentar…”
Pelangi menunduk, Langit sangat tau apa sebabnya. “Tentu saja aku akan kembali…” Langit tersenyum dalam senyum yang sedikit gusar. Senyum yang menyimpan banyak arti… atau mungkin… banyak kegusaran.
Pelangi tau dia tak rela. Tapi akan jadi sebuah keegoisan jika dia melarang Langit pergi. Seperti dua buah pilihan yang bisa mengantarkan ke jalan lain yang tak pernah disangka.
Tapi yang akhirnya terdengar keluar dari mulut mungilnya hanya…., “Baiklah,”
Dan hatinya terasa mati ketika melihat Langit tersenyum, satu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Separuh jiwanya pergi ketika Langit menggumamkan terima kasih.
“Katakan padaku kalau kau akan menungguku, maka aku akan kembali padamu. Menemuimu lagi ditempat ini. Karena aku yakin akhir semua ini adalah dongeng. Bahagia selamanya…” tangan kokoh Langit meredam jemari Pelangi. Pelangi sudah tidak menjejak bumi. Bukan perasaan indah yang ada, seperti yang biasanya dia rasakan… yang ada hanyalah perasaan terbelah yang amat menyakitkan.
Tapi sekali lagi, Pelangi tidak pernah merasa tega setelah berhadapan dengan wajah teduh Langit. Suaranya terasa seperti angin yang berlarian diatas gurun, “Aku akan menunggumu.”
Dan Langit melepas genggamannya.
Gelap jadi semakin menggelap. Merajalela membentuk lukisan tinta pekat…, tinta cina. Hujanpun tak pandang rasa. Semakin menggelapkan indera.
Dan Langitpun pergi.
###
Sejak kepergian putaran dunianya, Pelangi tak pernah meninggalkan berandanya setiap sore. Tidak menghiraukan semua orang. Matanya sering kosong, menatap baying-bayang dikejauhan. Berharap itu Langit. Langit yang sedang dia tunggu. Malam membayang, sore berputar. Lagi dan lagi… pelangi tetap saja menunggu. Menunggu uluran tangan Langit melambai di depan matanya, menanti Pelangi untuk menyambutnya layaknya putri raja.
Entah sudah berapa lama Pelangi menunggu…… kini sudah tak terhitung waktu. Dan Pelangi masih belum lelah untuk menunggu. Meski sore sudah kehilangan arti. Dan senja telah memudar… meski hitungan tahun sudah melewati jumlah seluruh jarinya……
Dalam harapan, di langit penuh bintang. Suatu malam yang indah, keajaiban itu datang… hujan turun ketika Pelangi masih duduk diberanda, tanpa lelah menanti Langit. Menanti penepatan janji itu akan datang. Dan penebusan penantian.
Tapi yang dinanti tak pernah datang, tak terdapat tanda-tanda janji itu akan bisa terpenuhi. Kemudian hujan pun semakin menderas. Dan ketika pagi menjelang, tak ada lagi sosok yang menanti di beranda. Tak ada lagi seorang Pelangi. Yang tertinggal hanyalah goresan warna di Langit, menandakan kesetiaan Pelangi. Bukti kerinduan Pelangi pada Langit…
Dan Pelangi tak pernah pergi…
Dia selalu ada…
Menempel pada langit…
Menanti saat-saat hujan datang dan mempersatukan mereka…
Dan mereka akan bertemu
Menebus janji yang tak tertepati…
###
~ TAMAT ~

SURAT SEMBILAN - a short story by anindya rahadi

Panggil aku Ilan. Sembilan. Nama yang penuh kepedihan dan keberuntungan. Saat musim semi berubah warna dan membungkusku dalam perasaan dingin yang belum terhilangkan.... aku mengingat masa-masa dibawah hujan.
Saat aku menunggumu. Saat hujan begitu deras dan mengurungku dalam terali airnya. Mencampur tangisku dengan rinainya... aku menunggumu.
Aku menunggumu dalam kepedihan yang seolah tak pernah berujung. Menunggumu dan tak pernah tau akan keeksistansimu dalam bagian belahan dunia manapun. Menunggumu yang mungkin saat ini berada diujung dunia. Dan aku tak bisa pergi. Tak bisa sembunyi. Tak bisa berlari. Dan payung ini tertiup jauh oleh angin kencang. Andaikan dukaku juga bisa tertiup jauh olehnya....
###
Sejak penantian tanpa ujung itu.... aku punya sebongkah es yang terdiam entah dimana dipelosok misterius yang dinamakan hati. Aku tak mengerti dia ada disana sejak kapan. Yang kutahu kamu telah membiarkan aku berada dalam pyramid kesakithatian. Dengan tak terselesaikannya janji, tak terwujudnya kata... saat itu aku mulai mempunyai bongkahan es yang memakamkan semua penantianku. Yang dari hari-kehari terselimut debu kebencian yang semakin menebal. Terus menebal dari waktu ke waktu. Untukmu....
Aku benci mengakuimu pernah ada dalam kehidupanku, dan dalam kehidupan ini. Kebencian itu semakin membesar. Seperti gundukan salju saat musim dingin yang tak pernah mencair seiring berjalannya musim semi. Kalaupun saat ini kau akan muncul..., aku tak ingin lagi melihatmu dengan kedua mata yang terpasang dirongga wajahku. Tak ingin lagi mendengar suaramu dengan kedua telinga yang terpasan disisi kepalaku. Tak mau menangkap wangimu dengan hidung diujung wajahku.
Tau apa sebab kau tak pernah kembali, aku tau apa sebab kau ditelan bumi. Dan kau mengira aku percaya kau hilang karena matahari pergi. Dan karena hujan hadir, tak mau menyisakan rekahan tanah kering meskipun sejengkal.
Aku benci kau, meski tak pernah terucapkan dengan lisan. Karena aku tak mau lisanku terluka. Karena aku tak mau tau apapun yang terjadi padamu lagi. Apakah kau masih menginjakkan kaki di bumi, ataukah kau hilang bersama pusaran udara. Aku tak ingin lagi peduli. Karena kau telah membiarkanku dalam kesakitan menunggumu. Sendirian, dibawah hujan... dengan hati giris dan terluka. Karena aku tau kau tak pernah peduli.
###
Panggil aku Ilan. Yang tak lagi akan terpengaruh akan kelembutan katamu. Panggil aku Ilan, Sembilan. Saat kau kembali dan kuacuhkan, karena kau datang dengan senyuman di tanggal sembilan belas dan pergi pada bulan kesembilan.
Panggil aku Ilan saat kau kuberitau apa rasanya berada dibawah hujan. Dalam penantian tanpa waktu yang tak kauacuhkan. Karena kau tak pernah tau, tak pernah peduli bagaimana, berapa lama dan apa rasanya menunggu. Kau hanya tau memilih dan mendapat. Lain, tidak.
Dan sekarang..., panggil aku Ilan saat waktu ini akhirnya tiba. Kau sampai dihadapanku dengan senyum itu lagi. Sungguh, saat ini aku rapat menutup mata. Kau sudah menimbulkan bongkahan es itu, sudah menambahkan seribu kebencian itu. Sudah mengoleskan air garam pada serpihan luka. Harusnya kau tau meskipun tanpa lisan, aku tak mengharapkan kedatanganmu. Tak pernah lagi. Sejak musim semi berubah warna.
Harusnya kau tau wajahku sudah menegang, ingin berteriak dengan penuh kebencian bahwa aku membencimu. Seribu tahun. Dan sudah begitu banyaknya rasa benci itu sampai aku tak sempat menghitung tumpukannya. Tapi aku tak mau melukai lisanku.
Panggil aku Ilan, jangan Bunga... karena aku adalah Sembilan Bunga Indah. Bunga seorang yang terlalu rapuh padamu. Berbeda dengan Ilan. Yang dengan tegas menolak kesempatan untuk bersamamu. Karena cintamu melukai. Karena kau merusak penantian ini.
Karena kau tak bisa menghargai. Karena kau tak pernah tau dan tak ingin tau. Karena kau layak untuk ditinggalkan. Karena aku sudah menganggapmu tak pernah ada.
Kau sekarang telah berwujud gelap dan abstrak. Kau yang sebenarnya berada dalam masa lalu yang enggan kutengok, yang enggan kubuka dan kuteliti. Dan aku tak mau menyimpan satu saja memorimu dalam kenanganku yang berharga.
Aku membencimu Bintang.... detik ini. Saat ini. Meskipun kau tak akan pernah tau. Karena jiwamu terlalu terhiasi ketidaktahuan. Dan saat ini bukan kau yang meninggalkanku. Tapi aku, yang meninggalkanmu dalam kekecewaan. Dan kemenangan padaku.
###TAMAT###
Catatat penulis untuk pembaca :
- sembilan sengaja dipilih sebagain nama karena diyakini sebagai angka keberuntungan.
- semua kritik dan saran atas semua cerpen saya yang pernah anda baca, harap dikirimkan via email di nindarahadi@yahoo.com. Terima kasih.

tentang reruntuhan kota merah - a short story by anindya rahadi

Apa yang pernah orang katakan tentang kota merah tidaklah terlalu ingin diingat. Tapi kadang-kadang mereka semua mengingatnya... karena kota merah meninggalkan kenangan yang sedemikian membekas bagi mereka. Kenangan yang seperti garam ditabur pada borok bernanah, begitu perih....
orang sering bilang itu kota setan. Kota jahat. Letaknya begitu dekat dengan kota kelabu. Meskipun begitu dekat, penduduk kota kelabu tak pernah menjejakkan kaki mereka disana. Kota merah seolah berpagar gaib, begitu terisolasi. Cahayanya selalu tampak redup ketika malam, dan seperti dihinggapi kabut saat siang. Terlihat begitu suram. Hingga orang-orang tua mulai melarang keras anak mereka untuk bermain disana. Kota merah, sama merah dengan api dineraka. Begitu kata yang mereka dengungkan. Kota itu memang tinggal reruntuhan, tapi siapa tau... dan darimana mereka bisa tau? Kalau ada sesuatu disana.
“masuk dudi....!” ibu membentak keras dudi yang duduk ditepi lembah tempatnya bisa bebas memandang ke kota merah. Indah sekali... batin dudi menangkap bayangan begitu banyak cahaya disana. Dan sebuah danau yang penuh dengan kunang-kunang. Ibu dan yang lain tidak pernah mau menatap kota itu berlama-lama. Kata mereka kota itu dikutuk.
Kata mereka dulu kota itu penuh oleh penyihir, yang semuanya dibakar hidup-hidup. Entah apa yang menyebabkan demikian. dudi menjadi seseorang yang tidak percaya pada omongan itu. Kota itu terlihat begitu indah dimatanya. Begitu mengundang untuk dikunjungi. Sama mempesonanya seperti bidadari yang bermandikan cahaya bintang. Dudi ingin kesana. Mencari pembuktian atas asumsinya atau isu penduduk.
###
Ada seseorang... dudi tau kalau ada seseorang yang terdiam disana, di kota merah. Entah hanya satu orang yang tersisa atau lebih. Dudi pernah melihat kelebatan baju abu-abu milik seorang gadis seusianya. Pernah gadis itu menatapnya sejenak dari kejauhan, nyala matanya... terkesan bercahaya seperti lampu merah terang. Dari hari kehari dudi semakin ingin tau, semakin penasaran. Dan pada suatu hari... disebuah hari yang berangin dan langit yang hendak memuntahkan air matanya, Dudi membuat suatu keputusan.
###
Dudi sampai dikota merah, ketika hampir seluruh penduduk kota kelabu terpenjara dalam lelapnya tidur. Astaga..., batin Dudi. Kota itu hanya tinggal puing-puing, yang amat menyedihkan, mengingat pemandangan disekitarnya indah. Mungkin dulunya kota itu begitu memesona. Lihat saja bekas-bekas bangunan kuno yang menjulang. Serta danau yang bersinar tertimpa cahaya bulan. Kota itu begitu penuh cahaya, meskipun sesungguhnya cuma tinggal reruntuhan. Jawabannya ada pada kunang-kunang yang beterbangan begitu banyaknya disitu.
Dudi terperangah, saat matanya menangkap gadis berbaju abu-abu itu. Rambutnya pendek bergelombang dan acak-acakan. Ia mendekat ke arah Dudi. “sedang apa kau disini? Bukankah kau dari kota Kelabu?” gadis itu bertanya datar, ia sering melihat Dudi menatap ke arah kotanya ketika senja menjelang petang.
“yah memang,” kata dudi, “aku hanya ingin melihat kota ini sebentar. Kau tinggal disini?” gadis itu mengangguk agak ragu. “bisakah kau menjadi pemandu bagiku?” Dudi bertanya, setengah memohon.
###
Dan disinilah mereka, ditepi danau yang bermandikan cahaya. Gadis itu terdiam lama sebelum berkata pelan, “sebenarnya kota merah tak pernah mati. Dia hanya menyimpan misteri yang lebih hebat dibalik dinding-dinding reruntuhannya,” dudi tidak bertanya, tidak pula memotong pembicaraan, dia tau memang ada sesuatu dengan kota ini. Tapi dia juga tau kalau gadis itu — Sara, akan menjelaskan ini padanya.
“semua orang bilang penduduk kota merah penyihir, tidak... mereka bukan penyihir. Mereka hanya hebat. Mereka meninggalkan kota merah karena telah membuat sesuatu dibaliknya, mereka semua tinggal disana. Ditempat indah yang bernama surga...,” Sara berhenti dan mendapati kebingungan diwajah dudi, “tidak, ini tidak seperti yang kaupikirkan. Mereka sendiri yang menamakan tempat itu surga. Surga yang ‘itu’ hanya bisa kaulihat kalau kau sudah mati dan kau beruntung. Memang demikian indah. Dan orang lain yang tidak tau apa-apa akan menilai salah dari penampilan luar. Penduduk kota merah terlalu gila ilmu sehingga sudah bisa menciptakan segala hal yang pada zamannya belum bisa diterima akal orang kebanyakan.”
“apakah kau akan membongkar semuanya padaku? Tidakkah itu dilarang? Dan kenapa kau berkeliaran diluar sini?” Dudi bertanya bingung. Sara menatapnya datar, “yah, hanya orang yang berani kemari saja yang boleh mengetahui ini. Dengan catatan kau akan merahasiakannya, tapi kau boleh mengatakan sesuatu yang bisa memperbaiki nama kami. Jangan salah, kami tau apa yang kaulakukan atau kaupikirkan. Jadi... jangan coba-coba melakukan sesuatu yang dilarang. Aku penjaga kunci surga, aku memang harus sering keluar dari sana,”
“bisakah aku melihat tempat yang kalian namakan surga itu?” tanya Dudi. “baik, tapi kau harus berjanji akan tinggal disana selamanya. Bagaimana?” tanya Sara. “bagaimana dengan ibuku yang risau aku tak kembali?” Dudi bimbang.
“jangan bodoh! Kau pasti bisa kembali,” Sarah berkata misterius.
“kalau begitu... baik,” Dudi berkata mantap, dia tidak akan pernah menyiakan kesempatan melihat tempat yang menurut Sara begitu indahnya sampai tak tergambarkan.
Dan ketika tiba waktu Sara membuka pintu. Dudi mulai bimbang, tapi dia sudah membuat kesepakatan. Pintu membuka dan bulir-bulir cahaya memancar keluar, membuatnya tak bisa melihat.
Sara menyeringai dalam sayup penglihatan Dudi, “Jangan khawatir. Yakinlah... kau akan bisa kembali.... atau mungkin...” seringai Sara lebih lebar, “atau mungkin tidak.”
###TAMAT###

IMPIAN PUTERI - a short story by anindya rahadi

Puteri mengawasi sepatu yang berada ditempat sepatunya dengan wajah muram. Kenapa tak juga ada seorang pangeran yang membawakan pasangannya kepadanya? Pangeran yang sempurna dengan segala ketampananya...
Puteri jadi merasa sedih, dia duduk di dekat jendela kamarnya... mengawasi segala pemandangan melewati pondoknya yang mungil dan dirambati bunga.
Ketika berada dalam pesta dansa kemarin malam.... sesungguhnya dia telah berhasil berdansa bersama seorang pemuda. Badannya tegap, orangnya sopan... dan mengenakan topeng yang menutupi hampir ¾ wajahnya. Namun puteri masih bisa melihat raut wajahnya yang tegas, pasti sebenarnya orangnya sangat tampan. Dia tidak banyak bicara pada puteri tadi malam... hanya menanyakan siapa nama puteri, dan puteri menjawabnya dengan muka merah padam... berkata bahwa namanya puteri, hanya puteri saja.
Dan pemuda itu tertawa, sambil bertanya, “apa tidak ada tambahan cinderella-nya?”
Puteri makin tenggelam dalam rona wajahnya. Tidak..., dia hanya seorang ‘puteri’, hanya bernama puteri, bukan benar-benar seorang puteri. Dan adapun dalam hatinya..., puteri berharap andai saja dia bisa menjadi sang Cinderella... mungkinkah pemuda ini pangerannya?
Sebenarnya tidak ada yang berkata jika lewat jam 12 malam puteri akan menjadi kodok atau apapun... termasuk dandanannya yang sempurna akan hilang, tapi puteri sedemikian inginnya menjadi cinderella. Dia melepaskan tangan pangeran yang masih mendekapnya di lantai dansa, dan berlari keluar dari hall. “Hei puteri!” pemuda itu berteriak memanggil namanya.
“aku harus pergi!” puteri merasa menikmati setiap kalimat yang diucapkannya. Inilah saatnya..., dan dia bisa mewujudkan mimpinya menjadi cinderella, puteri tidak peduli apakah itu hanya obsesi gila yang tersisa dari masa kanak-kanaknya semata.
Puteri mulai menuruni tangga, dan membuatnya seanggun yang ia bisa, pemuda itu masih mengejarnya, dan dipertengahan tangga... puteri meloloskan sebelah sepatunya disana. Berharap pemuda itu menemukannya, dan menggunakan sepatu warna biru transparan itu untuk mencarinya. Dan menemukannya, dan mereka bisa hidup bahagia selamanya, seperti dalam dongeng.
@@@
Puteri menunggu saat-saat dimana sepatunya akan kembali, dan dia mengisinya dengan menggunakan baju-baju lusuh model jaman dulu dirumahnya. Ibunya selalu bertanya-tanya mengapa? Tapi puteri tidak pernah mau menjawab, dia menyimpan jawaban untuknya sendiri. Tidak seperti gadis seusianya dia suka sekali melakukan semua pekerjaan rumah yang kadang begitu berat untuk dikerjakan sendiri. Mungkin dengan begini... sang pangeran akan cepat datang, pikir puteri.
Semakin hari ibunya semakin merana melihat tingkah puteri yang aneh. Dia khawatir dengan keadaan psikologi puteri. Apakah anak itu kejiwaannya sedang bermasalah??? Ibu sering bertanya diam-diam. Meskipun dia hanya ibu tiri, tapi ibu sangat menyayangi puteri. Setelah ayah kandung puteri meninggal, ibu seorang diri merawat puteri bagaikan anak kandungnya sendiri. Beliau sudah jatuh cinta saat pertama kali menggendong puteri.
Tapi kadang ibu bersedih karena puteri seolah menjaga jarak dengannya, jarak yang terlalu jauh... saat ini. Apa mungkin gadis itu masih berpikir bahwa ibu tiri orang yang jahat? Ibu sering memergoki gadis itu menangis sambil membaca buku tebal yang penuh gambar berwarna sambil menjerit tertahan, “kau benar-benar sama denganku! Kau benar-benar sama denganku!” dan ketika ibu berhasil melihat buku apa yang dibaca puteri, tertulis benar si sampulnya yang indah dan tebal : CINDERELLA.
@@@
Suatu pagi, seorang pemuda datang ke pondok puteri. Dia menatap setiap detil rumah itu dalam-dalam. Dia datang dengan baju bajanya, serta perisai dan pedang. Jelas terlihat dia seorang ksatria. Wajahnya simpatik, meski tidak terlalu tampan. Dia mengetuk pelan rumah puteri dan ibu muncul membukakannya. Pemuda itu menemukan puteri sedang menangis di dekat jendela kamarnya, menatap sedih pada sepatu.
“Puteri?” puteri menengok dan terpana menatap ksatria itu.
“aku mencarimu kemana-mana,” ksatria itu tersenyum.
“siapa kau?” tanya puteri dalam tangisnya.
“kau lupa? Bukankah kita berdansa waktu i...,”
“Bukan! Aku berdansa dengan pangeran! Bukan dengan ksatria seperti kau! Menakutkan!” teriak puteri. Ksatria langsung menunduk. Baru saja ibu menceritakan padanya tentang puteri, benar kata ibu. Gadis itu terlalu terobsesi pada dongeng cinderella.
Ksatria itu mendekat, tapi puteri mundur menjauh.
“Aku ingin pangeran! Mana dia?”
“Tapi aku menemukan sepatumu... kau pasti kehilangannya dan tidak bisa memakainya. Aku tidak bisa memikirkan kau hanya memakai sebelah sepatu,” ksatria berkata dengan suaranya yang tenang dan dalam. Seraya menunjukkan sepatu puteri yang tertinggal.
“ti.... tidak...,” kata puteri terbata-bata. Memang sepertinya dia mengenal suara ksatria yang sangat sama dengan suara pemuda yang berdansa dengannya di hall. Tapi puteri mengingkarinya sendiri.
Spontan, ksatria merengkuh puteri dalam pelukannya. Puteri mencium aroma sabun yang sama dg pemuda di hall dansa. “kau hanya sedang mengingkari kenyataan... aku tau sebenarnya kau tau bahwa aku yang bersamamu di hall dansa,” kata ksatria halus. Tangis puteri semakin keras saja.
“tidak perlu jadi cinderella untuk bahagia puteri... kau harus yakin itu,” kata ksatria lagi, dan puteri merasa dadanya penuh terisi sesuatu yg hangat, yang menjalar kejantung dan hatinya. Apakah itu yang dinamakan dengan perasaan bahagia??? Mungkin puteri bisa menanyakannya lagi nanti, pada ksatria.
@@FIN@@

ibu dalam sayap hitam - a short story by anindyarahadi

Kalau ada orang yang mengatakan kasih Ibu sepanjang jalan dan kasih ayah sepanjang galah, aku tidak akan pernah percaya.
Karena disinilah aku saat jingga memeluk langit, bergelung dengan selimut kumal milikku satu-satunya. Aku menatap rumah-rumah dekil yang menghalangi pandanganku untuk melihat ujung gang. Rumah yang tambalannya kerdus ketika dinding bambunya bolong.
Aku mengawasi tulisan yang sudah kugoreskan beberapa menit yang lalu. Dengan menggunakan pensil patah yang sangat pendek pada kertas tua yang sudah menguning bekas terkena tetesan air hujan. Kertas ini pula yang kemarin menemaniku makan siang, makan pagi sebenarnya yang baru kudapatkan pada siang harinya. Tentu saja kertas itu alas makanku kemarin dari nasi berulam tempe dan sedikit kangkung yang ayah jejalkan pada tanganku sepulang dari menarik becak tuanya.
Namaku Wulan, aku tidak pernah sekolah. Aku bisa menulis karena seorang wanita baik hati bernama Bu Rina mengajariku bersama anak-anak lain dikampungku. Meski dengan tersendat-sendat karena kekuranganku. Kupandangi lagi tulisan tanganku yang mirip cakar ayam, morat-marit tidak karuan :
Untuk Ibu...
Hidup dalam keheningan itu memang sangat menyakitkan
Apalagi ketika lingkaran hitam itu semakin menciut
Merapat leher, mencekikku dalam ketidakberdayaan
Saat aku tahu kau bahkan meninggalkanku tanpa syarat
Menolak mengakui kehadiranku atas cintamu
Tak peduli kalau aku semakin menghilang
Didalam sumur kegelapan...
Kertas itu sudah lecek, dan aku menatapnya dengan sorot mata hampa. Aku tidak pernah merindukan sosok Ibu dalam hidupku. Aku tahu alasan aku tidak menangis ketika lahir adalah karena aku menolak menangisi Ibu. Karena aku tahu dia menjauhiku bahkan sejak aku melorot dari rahimnya. Aku tidak pernah merasakan belaian halusnya di kepalaku seperti umumnya seorang Ibu yang mengasihi anaknya. Yang jelas, lima hari setelah dia melahirkanku, dia meninggalkanku.
Bukan, dia tidak meninggalkanku karena meninggalkan dunia fana ini. Dia hanya tidak senang akan kehadiranku. Aku tidak tahu yang mana yang mendasari kebencian Ibu padaku. Apakah karena dia benci pada pernikahan paksanya dengan ayah akibat ‘kecelakaan’ ataukah karena aku tidak bisa bicara dan pincang dengan jari kaki 12. jari kakiku memang berjumlah duabelas, tidak seperti umumnya orang-orang. Mungkin itulah penyebab Ibu membenciku.
Lelaki yang kupanggil ayah – satu-satunya kata yang bisa kuucapkan meski dengan tidak jelas – saat ini memang bukan ayahku yang sebenarnya. dia hanya terlalu mencintai Ibu hingga rela menikahinya saat laki-laki yang menyebabkan aku hadir dirahim Ibu melarikan diri entah kemana.
Ibu tak pernah mencintai Ayah, rupanya dia masih mencintai laki-laki itu. Laki-laki pengecut tidak tahu diri yang melimpahkan tanggung jawab pada orang lain. Sebenarnya, entah siapa yang lebih tidak tau diri, laki-laki itu atau Ibu yang tak pernah menghargai Ayah. Sekalipun laki-laki itu adalah ayahku yang sebenarnya, aku tidak akan pernah mau mengakuinya. Aku menolak darah pengecut tidak tahu diri itu mengaliri nadiku. Dan karena Ibu pergi untuk mencarinya.
Aku tidak tahu kenapa, melihat betapa Ibu sangat mencintai laki-laki itu, kenapa dia menjauhkan dirinya dariku?
Jauh didalam hatiku, kebencianku pada mereka semakin menumpuk dari waktu-kewaktu. Sampai diusiaku yang 9 tahun. Dan setiap melihat ayahku mendorong becaknya dengan wajah lelah yang lebih tua dari usianya yang sebenarnya, kebencian itu terus menerus bertambah.
***
Sore itu, di hari yang berbeda. Aku kembali duduk didepan bingkai jendela kamarku yang sempit.
Krieeet... krieeett... kudengar suara itu memasuki rumah, menjadi pertanda kedatangan ayah. Aku keluar dari kamarku dan menemukan ayahku duduk bersandar pada dinding sambil memegangi keningnya. Ayah tampak berpikir, aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Yang jelas wajahnya terlihat sangat letih, dan tua... aku melangkahkan kaki mendekat padanya.
“A..ah...,” panggilku setelah sampai didekatnya. Ayah menatapku dengan pandangan kosong.
“A..ah...,” kataku lagi, karena hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku dengan latihan berbulan-bulan yang melelahkan. Ayah tak bereaksi, dia masih bersandar dengan wajah kosong. Aku ikut duduk bersimpuh disampingnya dengan pandangan mengawang.
Dan kemudian ayah mengelus kepalaku, “Kau rindu Ibumu?” tanyanya dengan wajah prihatin kepadaku. Aku menatap ayah, berusaha melihat apakah dia masih mencintai Ibu? Aku tidak menemukan apa-apa disana selain serpihan luka. Mungkin Ibu terlalu banyak menyakiti perasaannya.
Aku menggeleng kuat, aku tidak pernah merindukan Ibu. Mungkin karena aku tidak pernah melihatnya kecuali dulu dengan mata bayiku, dan aku tidak bisa mengingatnya kembali.
Ayah menatapku sembil tersenyum lantas mengelus kepalaku lagi. Kemudian dia bangkit dan mengambil kantung plastik yang terkait pada setir becaknya, Ayah mengangsurkannya padaku.
“Makanlah Wulan... maaf kalau Ayah tidak berguna. Ayah miskin, tidak mampu menyekolahkanmu. Memberi makanpun cuma dua kali sehari,” ayah membukakan bungkusan nasi itu dan mengambilkan sendok. Aku hanya menatapnya tanpa bangkit dari dudukku.
Tidak apa, Yah... bisik hatiku. Dia bahkan masih lebih baik ketimbang Ibu yang meninggalkanku selama seumur hidupku. Satu lagi alasan dalam pikiranku kenapa Ibu meninggalkan Ayah, karena ayah miskin. Mungkin Ibu tidak tahu kalau Ayah lebih kaya dari yang dia duga. Ayah kaya akan kasih sayang.
Aku menyuapkan nasi pecel dengan lauk kerupuk dan tahu pada mulutku dan ayah masih termenung sambil menatap dinding.
“A..aah,” aku menunjuk nasiku sambil memanggilnya.
“Ayah sudah makan tadi. Sudah... habiskanlah nasimu..,” jawab Ayah. Secara ajaib entah kenapa dia selalu bisa mengerti aku meskipun aku tidak dapat menyampaikan apa yang kumaksud.
Ayah termenung lama, keletihan dan keprihatinan hidup berbaur dalam wajahnya. Juga kesedihan yang nampak mengambang, membuat matanya berkaca-kaca.
Aku melepaskan sendok makanku dan beringsut mendekatinya.
Ada apa? Makannya kurang? Nanti ayah kerja lagi kalau kurang, ayah belikan kau nasi lagi,” tanya ayah. Aku menggeleng, menjawab pertanyaannya.
Aku hanya ingin berkata aku sayang ayah! Tapi yang keluar hanyalah udara, bibirku hanya mengatup-ngatup tanpa suara.
Maka aku memeluknya, tubuh tua itu. Ayah memang lebih tua duapuluh tahun saat menikah dengan Ibu.
Aku merasa ada yang jatuh dipunggungku saat dia balas memelukku, air mata ayah. Aku tidak pernah melihat Ayah menangis sebelumnya, dan sekarang dia melakukannya.
“Ibumu datang, Wulan. Dia akan datang mengambilmu dari ayah. Rupanya dia sudah hidup lebih layak dari Ayah. Ayah tidak peduli pada kedatangannya, yang jelas ayah tidak mau dia menggambilmu. Dia sudah mengabaikan dan melupakanmu begitu lama dan dengan enaknya dia sekarang akan mengambilmu. Ayah tidak rela!”
“A...ah!” aku menangis juga mendengarnya. Aku benci Ibu! Aku benci Ibu!
“Sekalipun kau bukan anak ayah, ayah tak pernah menganggapmu orang lain,” kata Ayah lagi. Dan aku semakin mengeratkan pelukanku.
Entah bagaimana rupa wanita yang telah melahirkanku itu, tapi aku telah membencinya lama sebelum aku menyadari kenapa aku membencinya.
***
Diluar, hujan turun begitu dahsyat. Petir menyambar-nyambar dengan hebat. Sore yang petang membayang, Ayah belum pulang.
Aku menatap apa yang ada diluar rumah dari bingkai jendelaku lagi. Jendela yang tidak pernah kubuka karena tuanya, aku takut akan lepas dari engselnya.
TOK! TOK! TOK!
Ketukan dipintu terdengar begitu keras dan terburu. Aku mengalihkan pandanganku dari jendela. Entah siapa yang berada diluar rumah. Tidak mungkin Ayah, dia selalu membuka pintu sendiri dengan bunyi krieet... krieet becak tuanya.
Aku berjalan mendekati pintu depan rumahku. Dengan pikiran yang berseliweran dikepalaku aku membuka pintu. Petir menyambar hebat dan kulihat lekuk tubuh wanita diluar sana.
“Aaa...,” kataku, berusaha bertanya siapa dia. Tapi wanita itu sepertinya tidak mengerti, dia malah melangkah masuk begitu saja sebelum aku mempersilakannya terlebih dahulu.
Dalam penerangan lampu minyak tanah, jelaslah bagaimana penampilan wanita itu. Dia berdiri dengan sepatu kulit hak tinggi dan gaun mini bunga-bunga murahan dengan warna yang sangat mencolok. Rambutnya bergelombang dan menjuntai sampai pinggulnya. Wajahnya padat oleh make up tebal yang luntur terkena hujan diluar. Dia tampak kebasahan tapi tidak terlalu terganggu karenanya, kecuali pada make upnya yang luntur.
“Kau Wulan?” tanyanya dengan nada datar. Aku mengangguk, apalagi yang kubisa selain mengangguk?
“Aku Ibumu,” katanya seenteng kapas. Aku lantas tercekat, ini dia Ibuku? Wanita yang melahirkan dan meninggalkanku tanpa pesan.
Pandanganku berubah padanya, dari penuh tanya menjadi acuh.
Wanita itu duduk dan melonjorkan kakinya pada kursi rotan reyot didekatnya. “Rumah ini masih saja begitu tua, sama seperti saat aku meninggalkannya. Suami yang tua, rumah yang tua... semua serba tua. Hahaha,” dia mengeluarkan gulungan kecil warna putih dari tasnya dan menyulutnya dengan korek api.
Aku masih berdiri menatapnya, “aa.. ii!”
Aku ingin berteriak kalau dia sebaiknya pergi!
Wanita itu mengisap rokoknya dengan satu sedotan keras dan menghembuskan nafasnya diudara, setelah itu membuang putungnya begitu saja dilantai. Dia mengotori rumahku saja!
Wanita itu kemudian menatapku dengan alis berkerut, “Kau sudah besar rupanya sekarang ya?” dia memperhatikan juga ternyata.
“Sekarang kau ikut denganku ya?” wanita itu mencekal tanganku dan menariknya. Benar kata ayah, dia ingin membewaku pergi. Tapi, tarikannya sama sekali tidak penuh kasih sayang... begitu kasar! Aku tidak yakin dia sudah mencintaiku sekarang. Kenyataannya aku tetap tidak merasakan cinta dari uluran tangannya! Aku berusaha menarik tanganku kembali sekuat tenaga dan dia terjatuh mengingat betapa licinnya lantai dan betapa tinggi sepatunya.
“Aduh! Kenapa kau membuatku jatuh?” tanyanya sambil bersimpuh dilantai rumah. Aku menatapnya dan panggilan Ibu memenuhi hatiku. Sejujurnya, jauh didalam hatiku aku ingin dia memelukku, sekali saja. Betapapun benci aku padanya, maka aku mendekati wanita itu. Berharap dia memelukku atau apa tapi dia bergeming.
“Mau apa kau?” tanyanya terkejut karena aku mendekatinya. Aku yakin telah menatapnya dengan pandangan penuh harap. Aku ingin Ibu memelukku! Kataku dalam hati. Tapi dia malah menatapku dengan sudut mata curiga.
Aku mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri, dia dengan ragu menyambut dan berdiri.
“Kau anak baik,” dia mengulurkan tangan untuk menyentuh kepalaku. Dingin. Itu yang kurasa. Aku semakin yakin dia tak pernah menyayangiku. Maka keinginan gila untuk memeluknya lenyap, dan aku mulai bertanya-tanya apa alasannya datang kembali dalam kehidupanku.
BRAK! Aku mendengar suara pintu dibuka dengan keras. Ayah.
“Untuk apa kau datang kemari?” tanya Ayah sambil mendekatiku dan menarikku dekat dengannya.
“Aku Ibunya, apa aku tidak boleh mengambil anakku sendiri?” tanya wanita yang adalah Ibuku itu.
Ayah mengerutkan bibir dengan jijik, “Untuk kau peras sebagai sumber uang? Tidak!” sentak Ayah.
“Tidak... aku hanya akan membantunya memperoleh cara hidup layak, tidak miskin sepertimu,” Ibu berkata tenang.
“Oh ya? Bukan untuk pertambahan satu lagi calon pelacur di rumah bordil yang kau bangga-banggakan sebagai pabrik uang itu?” tanya Ayah marah.
Aku belum pernah melihat Ayah semarah itu.
“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya Ibu. Aku terbelalak. Aku tahu Ibu tidak sayang padaku tapi aku tidak pernah menduga sampai separah itu dia tidak pernah mencintaiku.
“Tidak boleh! Aku yang mengurusnya demikian lama lantas kau akan menggunakan dia untuk menghasilkan uang bagi dirimu? Enyah kau! Pergi dari sini!” ayah berteriak marah.
“Tapi...ta...” Ibu tampak gelagapan.
“PERGIIIIIIIIII!!!!!!”
“B...baik...” kata Ibu, berusaha mengusai diri.
“Baik, aku akan pergi... tapi...” dia berjalan mendekatiku dengan gaya lamban.
“Kau cantik, nak! Sama seperti aku karena kau anakku. Sayang, si tua yang tolol ini tidak tau bagaimana cara memanfaatkan kecantikanmu,” kata Ibu sambil melenggang keluar pintu rumah.
Aku mendongak menatap Ayah ketika punggung wanita itu sudah menghilang ditelan malam dikelokan jalan. Ayah balas menatapku sendu.
Sempai kapanpun kalau ada orang yang mengatakan kasih Ibu sepanjang jalan dan kasih ayah sepanjang galah, aku tidak akan pernah percaya...
**TAMAT**
Previous Page Home