Friday, July 24, 2009

Empat Tahun Itu Lama, Matahari...


kamulah matahari itu...

Empat tahun itu lama, dia bukan sesuatu yang akan berlalu ketika kita membuka mata dari tidur sepanjang siang. Empat tahun itu lama, bukan waktu yang kuhabiskan selama di kamar mandi atau untuk berkutat dengan berjilid-jilid novel, bukan setara dengan waktu yang kuhabiskan untuk menghadiri dua puluh empat SKS.

Empat tahun itu lama Matahari, tidak mudah ketika harus berjalan sendirian dengan langkah ragu-ragu dan pikiran menerka-nerka, aku ingin kamu ada. Selalu ingin kamu ada. Kamu tidak tahu betapa gelap aku tanpa kamu yang lembut dipagi hari, berlimpah di siang hari dan menatap dari jauh ketika malam.

Aku ingin kamu tahu, tapi tidak tahu bagaimana cara membuat kamu tahu. Kamu membuat cerita ini selayaknya perasaan yang tidak bersambut. Kamu membuat aku jadi makhluk yang mencoba memaksa jadi optimis, menekuri setiap detikan jarum jam yang membahana dalam hening ini.

Ya, kamu tidak mengerti. Kamu selalu tidak mengerti dan tidak pernah mencoba untuk mengerti akan ribetnya buih serupa air yang kelamaan dibiarkan di atas kompor dan berdiam dalam hati. Kamu tidak mengerti ketakutan-ketakutan itu. Kamu tidak mengerti rasa bersalah yang menggerogoti aku perlahan dan membuat aku jadi semakin tidak berarti. Tentang kamu, tentang bayang-bayang itu, dan berakhir dengan aku.

Semua melebur dalam kata terserah. Ini benar, ketika aku ingin kamu ada sedangkan kamu terlalu jarang ada… kekecewaan itu telah berubah menuju ketidakpedulian. Aku jadi tidak peduli eksistensi dan keadaanmu. Tidak ada yang mesti di pedulikan. Seperti yang pernah kamu bilang, kamu jadi tidak penting, kamu memang tidak penting. Aku membenarkan. Kamu jadi sesuatu yang benar-benar kehilangan arti di mulut tapi menempati porsi paling besar di lorong hati, mungkin aku tidak benar-benar bisa mentarjemahkannya dalam lisan. Aku menyesal karena semuanya jadi memburuk tepat di titik ketika aku ingin mengambil sekrup, obeng, tang dan segala yang dibutuhkan untuk memperbaiki.

Yang aku tahu banyak butuh waktu untuk kita bisa jadi satu, melebur seperti tanah liat yang ditemplok sesukanya untuk menakar seberapa banyak sebelum dijadikan sebuah guci. Ya, kita salah satu dari bahan-bahan itu. Mungkin aku tanah liatnya, mungkin kamu pasirnya… atau apalah.. entah jika diteruskan aku akan jadi semakin sok tahu tentang pembuatan sebuah guci ketimbang perajinnya.

Empat tahun itu lama, Matahari… Dan aku mengurung sebagian diriku dalam diammu, menggembok hatiku setelah mengosongkan dan mengizinkan cuma kamu saja yang masuk di ruang hampa itu. Mencoba berdamai dengan waktu, dengan aku…… dengan kehilangan akan binarmu.

(Jum’at, setengah dua pagi.. tiba-tiba saja ingin memenuhi selembar kertas virtual dalam msword)

Friday, July 3, 2009

FLASH BACK

Sekarang, saat ini.... saya tiba-tiba ingat masa SMA.
Saya ingat dengan jelas bagaimana saya waktu SMA, keras kepala dan ngga mau dengar apa yang tidak cocok bagi saya, senang mengacau dan memberontak, taraf kecuekan akut... jarang peduli pada yang dimau orang pada diri saya (yang sebenernya lumayan baik tapi sering sok2 ngga baik).

Saya sering banget telat waktu SMA padahal rumah cuma berjarak dua kilometer dan diantar pula. Saya sering dihukum karena itu, pernah lari-lari keliling lapangan telanjang kaki pas panas-panas dan ngga diijinkan masuk se-jam pelajaran untuk menuntaskan hukuman, cuci kaki cepet-cepet dan buru-buru masuk kelas dengan muka distel menyesal.


saya waktu SMA... ckckckckck bukan main gantengnya **memuji diri sendiri mode ON**

Saya juga pernah membolos 'berjamaah' dengan hampir seisi kelas pada satu hari setelah study tour padahal itu hari senin yang seperti umumnya anak SMA, ada upacara rutin. Bayangkan deh seperti apa barisan kelas 1-F kami yang melompong dengan hanya beberapa anak yang hadir. Tak perlu ditanya lagi lanjutannya, esoknya kami dijemur jam 12 siang untuk membayar kesalahan plus omelan-omelan segudang dari beberapa guru. Ngga cuma diam saja, saya yang merasa sama sekali ngga bersalah karena memang kurang enak badan, dengan nyebelinnya membantah. Urusan jadi bertambah panjang karenanya.

Memang sih kayaknya waktu itu nyesel juga sama saya yang bandel dan sering disebelin orang-orang sekitar, but now... ketika saya duduk di basement fakultas ekonomi UB, hahahahaaa saya bisa menertawakannya dan bisa bilang kalau semua itu kepingan-kepingan coklat isi almond yang mengendap di stoples besar hidup saya.

Ya, itu semua jadi begitu manis dan mendadak saya jadi tidak menyesalinya. Karena ketika saya kuliah, ngga ada lagi moment-moment itu. Saya sedikit banyak jadi orang yang berbeda. Di SMA, semakin melanggar peraturan dan semakin mendapatkan omelan sepertinya semua jadi semakin asyik **ketawa jahat** sementara semua di dunia 'kuliahan' macam-macam hal ngga benar yang kita lakukan itu seringkali konsekuensinya ke nilai akademik. Seperti teman saya yang gara-gara ngga bawa kalkulator, ngga boleh ikut kuis dan nilai akhirnya untuk mata kuliah itu D. Atau teman saya yang lain yang gara-gara telat dua kali sehingga ngga terabsen, ngga boleh ikut Ujian Akhir Semester dengan nilai akhir yang cuma C, padahal otaknya jauh diatas saya.

Di SMA nilai jelek sedikit juga ngga masalah, kebanyakan pasti naik kelas kok... asal ngga 'kebangetan' aja. Sekarang, sedikit kesalahan bisa mengakibatkan kita tertinggal dari semua teman... seperti saya yang sempet kacau ketika semester dua sehingga IP dibawah 3 dan cuma bisa mengambil 21 sks, memperlambat kelulusan.

Saya yang konon salah satu makluk paling hobi telat di dunia, mengurangi kebiasaan itu dengan cukup drastis (emang sih masih serig telat tapi ini udah jauh lebih baik ketimbang saya yang dulu).


Satu-satunya hal yang sangat saya sesali saat ini adalah... SAYA SUDAH NGGA GANTENG LAGI!!! huhuhuhuhu T___T

Wednesday, July 1, 2009

PENGENNYA...

Pengennya belajar sampe jam lima pagi lagi. Pengennya jangan ngantuk dulu. Pengennya ngga pernah jadi orang plinplan. Pengennya bulletproof berlawanan dengan tell me why-nya taylor swift. Pengennya dia tau kalau tidak hanya kuingat pada satu saat tertentu saja. Pengennya gambarku lebih berkembang dan jadi lebih sering latihan. Pengennya saat ini keranjang cucianku kosong. Pengennya gampang tidur kalau malam2 nganggur. Pengennya ujian dua minggu aja. Pengennya ngga males nulis lagi. Pengennya punya banyak waktu untuk membaca.
.
.
.
Tapi semua tetap cuma 'pengennya'.
Previous Page Next Page Home