Sunday, May 13, 2012

Sebel!

taken from paloma marciana's mim
Saya sebel karena salah satu sahabat saya yang jauh lagi-lagi memasuki fase baru cobaan. Saya pikir dunia baru itu tepat-tepat saja baginya. Karena sepertinya dia banyak menemukan alasan untuk membenarkan alasannya menerima tawaran kerja. Jadi saya iyakan asalkan dia mantap memilih menerima. Gajinya tidak buruk dan sepertinya perusahaannya juga lumayan. Tapi ternyata itu harus dibayar dengan harga yang tidak murah juga. Saya sebel karena nggak tahu harus ngapain.

Saya sebel karena tadi waktu messenger saya nyala, tiba-tiba saja saya disapa seorang kawan lama dan dia bertanya soal lowongan. Alasannya pengin tahu saja karena selama ini dia tidak pernah melamar pekerjaan. Dia juga pengin tahu prosedurnya. Hah? Saya nggak percaya karena semisal saya jadi dia mestinya ya buat apa tahu... kecuali ada pembicaraan yang memang membahas soal itu. Ada motif lain. Saya melihatnya samar-samar. Wanita. Saya sebal karena si kawan sudah melebihi kapasitasnya sebagai seorang lelaki bagi seorang wanita. Terkesan wanita ini pemalas sekali, sampai kudu kawan saya yang sudah bekerja pontang-panting mencarikan info lowongan ke sumber-sumber yang mungkin saja bagus seperti saya. Padahal googling sebentar juga nemu ratusan, padahal kalau si wanita mau mampir ke kampus saya atau kampus sebelah kampus saya banyak pelayanan info kerja yang sayang dilewatkan. Saya malas menjawab bukan karena nggak mau bantu teman. Saya malas kasih tahu karena enggan menyenangkan hati wanita dibelakang kawan saya yang sepertinya 'sembarang kalir' malas sampai harus merongrong kekasihnya  untuk mencarikan dia info.

Saya sebel karena tadi saya coba sapa salah seorang kawan lain yang sudah lama juga saya kenal, dia menjawab dengan nada yang seolah datar. Mungkin karena lagi sumpek, mungkin karena malas ngobrol sama saya. Saya bingung bagaimana harus meningkahi obrolan wawancara searah seperti itu. Saya tanya dan dia jawab. Padahal saya dan si kawan sudah sangat lama tidak pernah ketemu online, ataupun bertukar sapa. Begitu seterusnya... guliran pertanyaan seperti wawancara sampai kemudian saya merasa sepertinya obrolan itu mesti disudahi. Barangkali interaksi wajar sudah jadi hal yang kelewat muluk belakangan ini.


Surabaya, gerah berlipat usai baju-baju terlipat
Previous Page Next Page Home