SO GET RELAX, DEAR ME... (pic taken from random googling) |
Saya sudah mulai membatin kalau nampaknya proses walk in interview itu bakalan tidak efisien. Tahu-tahu saja pegawainya semua keluar dalam rangka istirahat bersama. Kami katanya juga disuruh istirahat dulu. Ya siapa mau baru naik tangga berlantai-lantai terus turun lagi dan naik lagi sementara saat itu baru saja dapat tempat duduk.
Dalam pikiran saya, manajemen semestinya tidak memanggil sedemikian banyak orang kalau wawancaranya tidak bisa dilakukan tepat waktu dan terutama ditinggal dulu istirahat. Kenapa ya nggak dibagi dua saja biar nggak ada yang dirugikan, sekelompok orang istirahat sekelompok lain tinggal untuk terus melakukan wawancara. Istirahatnya gantian. Banyak yang sudah lebih lama dari saya kelelahan berdiri, bahkan juga ada beberapa bapak-bapak setengah baya yang adalah calon karyawan dengan referensi pengalaman.
Setelah beberapa waktu capek menunggu, baru bagian HRD masuk lagi ke ruangan, itu juga satu per satu dan agak lama sampai mereka lengkap. Ruang wawancara lebih bikin bingung lagi, ketika saya masuk dalam ruangan itu berisi sekian staf yang satu persatu menghadapi satu pelamar kerja dan mereka beramai-ramai melakukan wawancara sehingga membuat suasana di daerah wawancara berisik bukan main. Mau jawab pewawancaranya sering nggak dengar, waktu pewawancaranya nanya saya juga sering nggak dengar saking berisiknya.
Terus pewawancara saya yang adalah mas-mas berusia muda kemudian bertanya, "Errr... saya nggak tahu ya anda pernah dengar atau tidak pertanyaan seperti ini dalam wawancara anda yang lain. Tapi semisal anda diterima disini apakah anda mau - maaf melepas jilbab,"
Serius saya kaget, serius juga saya kesal.
Perjuangan saya dalam perjalanan sekaligus perjuangan begitu lama menunggu, kaki saya yang pakai high heels sampai pegal-pegal hanya untuk memenuhi panggilan sebuah perusahaan yang ternyata tidak worthed saya perjuangkan.
Menilai seorang pelamar dari berkerudung atau tidaknya dan secara tidak langsung memaksa karyawannya untuk tidak menggunakan kerudung ketika bekerja bagi saya sungguh pikiran yang picik. Apalagi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama muslim. Perusahaan semestinya menilai saya dari cara saya berbicara dan dari CV yang saya serahkan.
Padahal saya sudah menyerahkan CV lengkap berikut foto ketika perusahaan itu membuka stand di jobfair, sementara foto saya dalam CV itu juga berkerudung. Saya menghela nafas dan menjawab bahwa saya sudah sepaket dengan kerudung itu, jadi saya tidak bersedia melepasnya. Saya pikir seharusnya perusahaan itu juga tidak memanggil saya lagi untuk mengikuti walk in interview setelah memperhatikan CV saya berikut foto berkerudung itu kan? Bahwa jika saya tidak sesuai dengan 'budaya' perusahaan itu maka semestinya tidak usah memberikan panggilan lanjut kepada saya kemudian seolah mencoba melakukan bujukan untuk membuat saya melepas kerudung - ah ya ini perasaan saya saja sih. Tapi tetap saja rasanya sungguh membuat kesal. Saya baru sadar kalau semua pegawai wanita yang saya temui di department store itu tidak ada yang memakai kerudung.
Kemudian dibagian akhir interview saya diminta menunggu selama seminggu karena kabar jika saya lolos atau tidak bisa akan diberikan dalam waktu seminggu.
In fact, kabarnya tidak juga datang setelah dua minggu lebih. Jadi saya rasa memang begitulah cara perusahaan itu mengelola manajemennya.
Tidak apa-apa, mereka yang rugi karena menolak seseorang yang berkompeten seperti saya *sombong mode ON*. Tidak apa-apa, karena bumi Allah pasti masih menyimpan banyak rejeki untuk hambaNya yang memegang erat perintahNya.
Saya percaya. Buktinya saya masih bisa punya penghasilan sendiri meskipun belum kerja full-time. Alhamdulillah.
Semoga rejeki berikutnya berbentuk kerja full-time :)