Thursday, May 26, 2016

SEDANG NGOMONG SENDIRI, CERITANYA



Sungguh tidak mudah berdamai dengan keinginan. Untuk keinginan memiliki sesuatu yang telah menjadi bagian dalam daftar keinginan kita.

Selalu tidak mudah.

Saya besar dalam proses untuk mampu mendapatkan apa yang saya inginkan seorang diri. Tidak pernah untuk mendapatkan sesuatu dengan cara instan. Itu alasan mengapa saya selalu ingin cepat lulus, biar bisa punya uang sendiri yang bisa dipakai beli ini itu diluar kebutuhan dasar, tanpa komentar miring. Beberapa bulan lalu terasa mudah saja, masih ada gaji dari kantor dan pekerjaan part time lain yang bisa saya kerjakan saat kantor sedang libur. Gaji yang segitu, pekerjaan part time yang cukup lumayan. Jangan salahkan saya kalau menamakan masa-masa itu sebagai golden age.

Ketika akhirnya memutuskan untuk menjadi istri yang tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan freelance yang tidak ada kepastian tiap bulan mampir, maka saya belajar arti bersyukur melalui penerimaan jumlah yang jauh sekali dari yang dulu saya terima. Sering seperempatnya saja masih jauh, boro-boro setengah. Pendapatan yang saya maksudkan adalah jumlah murni yang saya hasilkan dalam satu bulan, melalui kerja serabutan apa saja yang bisa dilakukan di rumah atau sekali-kali keluar, tidak termasuk dari suami. Saya belajar bersyukur paling tidak saya sehat demikian juga keluarga. Paling tidak masakan saya jarang gagal jadi seringnya habis dimakan, nggak mubazir buang-buang makanan.

Jika orang bilang menjadi wanita karir itu susah lho, meninggalkan rumah dan keluarga, bekerja sampai terlewat perkembangan anak sendiri. Mencari uang sampai segitunya. Kalau karir adalah hal yang memicu ketertarikan kita, maka sebenarnya tidak sesusah itu. Ya sesusah-susahnya masih tetap menyenangkan karena ada sebagian diri kita yang lebih dari tertarik untuk bekerja. Tentu disini, tidak termasuk untuk para pejuang keluarga seorang diri, para ibu yang single parent.

Kalau secara kondisi umum justru bagi saya, menjadi istri yang tinggal di rumah malah lebih sulit. Apalagi jika sebelumnya kita wanita yang bekerja di luar rumah dan menerima gaji pasti tiap bulannya. Susah untuk menyesuaikan diri dengan kegiatan yang tidak lagi melek, mandi siap-siap kemudian ke kantor. Susah untuk menekan keinginan pribadi yang sebelumnya kurang terkontrol. Keinginan belanja yang sama standarnya dengan kita yang dulu. Sebelumnya harga sepatu nominal sekian saja terasa enteng banget, sekarang mungkin sudah berbeda. Harga sepatu yang dulu sih memang segini tapi tetep rasanya enteng gitu, eh sekarang sudah jadi lebih dari sekadar berat. Hahaha.

Tapi lagi-lagi, saya bukan tipe orang yang suka membebankan keinginan pada orang lain termasuk pada suami. Bagi saya kewajiban suami adalah memberikan hal-hal yang saya butuhkan, bukan yang saya inginkan. Dan keinginan belanja ini itu bagi saya adalah termasuk keinginan, bukannya kebutuhan. Meskipun orangnya nggak keberatan beliin, tapi kadang saya merasa kurang keren karena nggak berkemampuan beli sendiri. Dilema. Yah semoga rezeki kedepannya lancar saja :)

Karena itulah, saya salut deh pada para wanita yang meninggalkan dunia kerja formal untuk keluarga, untuk suami dan anak-anaknya. Bermodalkan percaya bahwa Allah akan memberikan jalan rezeki untuk keluarga, rezeki kita sudah terurus, kita cuma hambaNya pastilah Dia tidak akan lalai mengurus kita. Nggak mudah lho.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk turut serta dalam war SAHM vs WM  ya :) Yang WM pahamilah, menjadi ibu dan istri yang tinggal di rumah itu tidak mudah. Setiap harinya kami harus belajar tentang rasa syukur dan keikhlasan yang setiap harinya juga diuji. Yang SAHM juga pahamilah, menjadi WM itu tidak mudah lho. Melewati tes kerja berlapis-lapis, pindah kantor berkali-kali (menurut pengalaman), meres otak dan kesabaran dan rasa rindu pada keluarga di rumah.

Ngomong-ngomong beberapa minggu lalu saya membaca mengenai keluarga Musa - penghafal Al-Qur'an cilik nan berprestasi langsung dari sumbernya, terus saya mendadak sedih. Luar biasa keikhlasan ibundanya, pantang menyerah pula, serasa nggak ada apa-apanya lah wanita biasa seperti saya ini.

.

9 comments:

  1. sukaaak sm postingannya. pernah jg baca tulisan dr bukunya Mas Kurniawangunadi, lupa redaksi lengkapnya gmn, cuma yg aku ingat intinya kita harus menikmati setiap fase dalam kehidupan kita, kalau saat ini masih single ya dinikmati singlenya dengan segala keistimewaan yang Allah beri, jangan malah "buru-buru" ingin pindah fase tapi ga bahagia dg kondisi saat ini. pun, kalau udah nikah ya dinikmati juga semua proses dan kebahagian yang ada bukan malah membandingkan dg fase sebelumnya.

    *jadi panjang amat komennya hihihi...

    ReplyDelete
  2. Hai nin :)

    Well, saya suka bingung dengan pembahasan ini, masih 50:50. Mungkin semua orang punya pertimbangannya masing-masing mau jadi bagaimana dan seperti apa, dan no one can judge them. Gada hak!

    btw, ak ngaminin banget quotenya.

    ReplyDelete
  3. Iya, SAHM itu keren! Saking kerennya aku masih belum punya keberanian untuk memutuskan itu rasanya mbak :)
    Mbak ninda juga keren banget, semangattt!!

    ReplyDelete
  4. yang penting jadi ibu yang baik ya, terserah mau SAHM atau WM. semuanya ada beban yang harus ditanggung.

    ReplyDelete
  5. Tante pasti jadi ibu yang baik
    seperti ibunya Musa

    ReplyDelete
  6. Kalau ini mah tetep saja ndak ngomong sendiri atuh Mba Anyiinn, kirain tadi sejenis soliloquy gitu. :D

    Mangaatttt kakak!!!! :D

    ReplyDelete
  7. Pernah merasa keduanya, aku ndak bisa setrong klo di kantor :D
    Di rumah pun sekarang, kadang bosen tapi cuma datang dan pergi aja, asik..
    Masalah rezeki, dtg dr mana aja, Allah beri.. Terharu klo udah ngalaminnya yaa, Allah maha baik

    ReplyDelete
  8. Nahhh ini nih

    Ahhhhh samaaa ini dengan apa yg ada di pikiranku, tapi susah diungkap ahahhahaha

    Takut dibilang war waran, tapi kurleb ini dia yg aku rasakeun sejak jadi irt hhhahaha

    ReplyDelete
  9. SAHM Dan WM itu singkatan apa ya? Gak paham.

    Sejatinya, kita memang gak boleh asal main judgment ke beberapa perempuan yang mempunyai pilihan berbeda, entah itu menjadi ibu rumah tangga saja atau ibu sekaligus wanita karir. Karena semua dipilih tentu dengan alasan dan pertimbangannya masing2 yang mesti kita hargai. Asal memang semuanya tak melupakan kewajiban utamanya, yakni menjadi madrasah pertama bagi putra-putrinya.

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Previous Page Next Page Home