Showing posts with label #postweddingdiary. Show all posts
Showing posts with label #postweddingdiary. Show all posts

Monday, July 20, 2020

RESIKO PERNIKAHAN

Suatu hari suami cerita dan meminta izin saya untuk bertugas di ruang isolasi pasien COVID-19.
Saya sedikit kaget tapi ngga bereaksi banyak.
Dengan realita kejadian di banyak rumah sakit di negara ini sudah tidak asing kejadian pasien yang berbohong terkait riwayat perjalanan dan keluhan kesehatannya. Beberapa kalipun pasien yang dia rawat juga ternyata positif COVID-19.

Sunday, May 19, 2019

HOW TO SURVIVE AS A CHILDLESS WOMEN BUT NOT BY CHOICE

Dulu, di tahun kesekian pernikahan saya... seorang teman yang masih gadis seringkali merasa bahwa saya tidak pengertian terkait masalah jodohnya, bahwa saya tidak mengerti posisi dia ketika menasehatinya untuk bersabar. Karena saya toh sudah menikah jadi mana saya tahu rasanya jadi dia?

Dalam hati saya ngerasa, "ya terus harus gimana kan kamu ngeluh mulunya ke saya?"
Dan teman yang lain lagi merasa, bahwa setidaknya saya sudah melewati 'another stage of life' dengan menikah. Sementara mereka masih stress dengan jodoh dan usia yang bertambah sehingga tuntutan keluarga untuk berkeluarga juga semakin memojokkan.

Ketika hingga tahun pernikahan saya yang kesekian, saat teman-teman yang umur pernikahannya sama atau bahkan lebih muda dengan saya memiliki anak-anak, sementara Allah belum memberikan amanah yang sama kepada saya.... entah bagaimana mereka perlahan mengerti dengan sendirinya dan kembali memercayakan curhatannya pada saya. Yah tidak semua, beberapa teman saja sudah lebih dari cukup. Mereka mengerti bahwa saya paham apa yang mereka keluhkan, dan jika saya masih menasehati mereka untuk bersabar... saya tidak melakukannya dengan hanya beromong manis tanpa praktek. Karena itu juga yang saya lakukan.

Saturday, February 4, 2017

MELARIKAN DIRI, VERSI MINI

Saya sedang duduk di coffee shop, membawa 'alat tempur' berupa buku yang sedang saya baca, planner berikut pena dan beberapa washitape.

Suami sedang futsal dan saya berada disini sembari menunggu dia menjemput, saya sering memanfaatkan waktu ketika dia keluar rumah untuk olahraga bersama kolega atau meeting yang tidak terlalu lama untuk berada di coffee shop sebelum setelah dia selesai dengan urusannya dan kami akan movie date atau makan bareng. Sering begini terutama ketika saya sedang ingin escape singkat dari rutinitas, merasa uninspired dan sebagainya-dan sebagainya.

Sunday, November 20, 2016

MENULAR

"Tolong tulisin kartu ini dong..." kata dia, mengangsurkan kartu dan bolpoin yang sedianya akan kami sisipkan kedalam kado untuk seorang saudara. Dia memang biasanya meminta bantuan kepada saya untuk menuliskan hal-hal seperti itu, tulisannya nggak oke katanya dan memang bener sih, bisa baca apa yang dia tulis sekali lihat aja saya udah bersyukur. Untung pas LDM ngobrolnya via messenger, coba kalau masih jaman pakai surat kayaknya kudu bertapa dulu buat baca tulisannya dia.

Saya menerima kartu dan bolpoin kemudian menuliskan ucapan selamat berikut nama kami diatas kartu itu dengan buru-buru.
"Tumben ya kok tulisanmu jadi jelek?" komentarnya memperhatikan apa yang saya tulis.
"Iya?" saya memutar hasil tulisan di atas kartu dan melihatnya dari berbagai sudut, "masa sih?"
Ya memang saya nulisnya buru-buru, bukan yang sengaja menulis pelan-pelan biar tulisannya bagus gitu. Yang penting kata-katanya, ya kan?
"Iya, perasaan biasanya bagus," kata dia lagi.
"Oh," saya mengangguk-angguk, memperhatikan lagi tulisan saya diatas kartu, "kayaknya ini hasil ketularan deh,"

Dia mengerutkan kening, "maksudnya?"
"Ya tulisan jelek itu emang gitu sih, suka nular."
"............."
"Ini salahmu." kata saya, sok serius padahal nahan ketawa.
".............." dia bengong dan kemudian tertawa kecil setelah ngeh maksud saya.


Tuesday, November 8, 2016

LIBURAN RECEH TAPI PERLU

Dulu pas bulan awal-awal menikah, banyak teman yang nanyain saya honeymoonnya kemana bareng suami? Saya jawab apa adanya aja, kami cuma ke kota sebelah doang yang perjalanannya paling banter 2 jam, ya kalau lagi macet memang bisa molor sampai 5 jam sih. Memang deket-deket aja, kesitunya juga naik mobil sendiri yang disetirin sama suami sendiri juga.


Wednesday, October 19, 2016

KETIKA JARAK MASIH MEMBENTANG


"How you feel about LDM Long Distance Marriage?"
"Kok kamu bisa sih Nin, kepisah lama-lama?"
Rame, temen-temen saya sendiri nyecer saya soal itu sewaktu kami lagi makan baso bareng sepulang kerja di warung baso tidak jauh dari kompleks perkantoran kami. Percakapan ini terjadi beberapa bulan setelah saya menikah, masih dalam rumah tangga jarak jauh bareng suami dan saya juga masih ngantor. Saat itu sudah malam usai Magrib, kantor kami terletak di tempat yang berbeda-beda. Ada teman yang memang kantornya hanya berselisih sekian bangunan dengan saya tapi kami jarang ketemu untuk makan bareng saking sibuknya kerja di kantor masing-masing. Paling komunikasi kami baru lancar jalan setelah sama-sama pulang dari kantor dan mengobrol via messenger memakai paket wifi tercepat Telkomsel.

Seorang teman lain sebenarnya berkantor di luar kota, tapi karena urusan pekerjaan dia harus ke kompleks perkantoran kami di sebelah utara ibu kota. Karena dia jugalah kami buru-buru menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya masih menumpuk hari itu demi bisa makan malam bareng-bareng. Memang jenis agendanya cuma sesaat, hanya makan malam tapi makan malam versi para teman yang sudah lama nggak ngumpul-ngumpul pasti bakalan jadi ajang ngobrol berjam-jam. 

Mungkin kamu berpikir bahwa ini karena kami yang hadir disini adalah para perempuan makanya kalau ngobrol bisa ngalor-ngidul dan butuh waktu yang panjang. Tapi hal yang sama juga kejadian kalau bareng teman cowok sekantor kami, selalu ada bahan percakapan tentang apa saja meskipun sebagian besar mengenai kantor.


Wednesday, October 5, 2016

SELAMAT TAHUN KEDUA, SEBENTAR LAGI


Tanggal 5 bulan Oktober dan saya disini, masih di kota sebelah dengan buku-buku tebal sementara suami tertidur di jam sekian setelah sejak semalam berada di tempat kerja. Masih bulan pertama, membagi hari-hari dalam satu minggu dengan belajar serta to do list yang menumpuk dan hari-hari lain berada di rumah bersama dia.

Another temporary long distance marriage setelah pertimbangan sekian lama hingga berbulan-bulan. Jangan tanya beratnya, meskipun selama ini saya sudah terbiasa dengan jam kerja suami yang panjang dan jarang libur tapi tetap saja kami selalu bertemu selama beberapa jam dalam sehari. Ada yang nggak nyaman dalam rentang waktu itu, karena ada bagian yang tidak selalu ada dalam setiap hari.

Saya datang untuk belajar dan mendapatkan sertifikat, mendapatkan upgrade dari hal-hal yang semula tidak saya tahu dan sebagai salah satu pegangan untuk masa depan yang entah seperti apa nantinya. Dan dalam semua resiko ini, saya tahu ini adalah bagian dari saat yang tepat untuk memulai dan mengakhiri sesuatu yang sudah saya rencanakan untuk ditempuh dengan persetujuan suami. Sebelum tanggung jawab kami bertambah dan urusan rumah semakin banyak.

Hari ini, dua tahun yang lalu masih saya ingat kesibukan di rumah saya di kampung halaman. Orang bilang, pengantin harus dipingit dan tidak boleh melakukan banyak hal untuk membantu kesibukan persiapan pesta. Tapi saya justru membersihkan kamar mandi dan rumah yang nggak keruan berantakannya saat saya jauh dan mengakhiri hari dengan terbaring kelelahan sekaligus frustasi. Masalahnya tidak ada yang bisa saya andalkan untuk membersihkan rumah saat itu.

Banyak sekali film yang membahas mengenai betapa berat tekanan pengantin menjelang hari H, tapi sepertinya tidak ada yang membahas mengenai calon pengantin perempuan menggosok kamar mandi pada h - 1 pernikahannya. Menyebalkan waktu itu, tapi jadinya lumayan lucu saat diingat lagi karena memangnya juga siapa yang bisa melupakan ingatan seperti itu?

Setahun lebih awal pernikahan yang berjarak sedemikian panjang antara Surabaya dan Jakarta. Mungkin tidak sepanjang dan sesulit itu, mungkin masih banyak pasangan lain yang menghabiskan waktu terpisah lebih jauh dan lebih lama. Kami masih memiliki bandara, paling tidak untuk menumpas jarak itu. Tapi memang selalu tidak pernah bisa dibilang mudah. Tidak ada yang bisa menganggap remeh jarak, atau menganggapnya mudah.

Hingga sejak beberapa bulan lalu akhirnya kami benar-benar mengakhiri lebarnya jarak.
Dalam sebuah kunjungan ke bandara untuk menemui keluarga yang berangkat umroh, suami mendadak ngomong ke saya saat kami melewati jalur antar jemput menuju tempat parkir. Bahwa dia selalu merasa aneh dan nggak nyaman saat harus ke bandara bersama saya. Karena beberapa bulan lalu mengantar saya ke bandara berarti saya harus kembali lagi ke ibukota, merentang jarak.

"But I'm here," saya ketawa, memandang ke arahnya. Dan saya akan tetap duduk di sebelah dia bahkan nanti ketika mobil keluar dari parkiran bandara dan kembali lagi ke rumah.
"Iya, aku lupa." dia menjawab. Mungkin keenggak-nyamanan itu melankolis yang tidak terjelaskan.

H-1 ulang tahun pernikahan yang kedua, sedang berjauhan yang untungnya temporer. Bukannya browsing www.indonesia.travel yang isinya kecantikan wisata tanah air dan merencanakan pergi ke Kuta Bali atau ke tempat lainnya untuk merayakan ulang tahun pernikahan, kami justru sedang berinvestasi. Well, investasi bukan hanya soal materi kan? Pendidikan juga.

Reach you soon on weekend, dear husband :)

Monday, October 3, 2016

LEGENDA MENANTU DAN IBU MERTUA


Saya ingat pernah membaca novel tulisan Ollie pada jaman-jaman awal penerbit Gagas Media mengusung konsep baru dalam novel-novel terbitannya. Ya beberapa novel Ollie yang saya baca pada masa itu, sekitar tahun 2008 sepertinya, berkisar mengenai permasalahan seputar pernikahan. Beberapa bagian dari novel itu menjadi catatan bagi saya untuk diambil sebagai pelajaran untuk masa-masa ke depan meskipun tentu saja saat itu saya masih remaja 18 tahun.

Salah satu isi novelnya yang paling saya ingat adalah tentang bahwa pernikahan bukanlah sebuah akhir dari segalanya, justru merupakan awal dari banyak hal lainnya.
Dalam pernikahan di negeri dongeng selalu saja berakhir dengan happily ever after, bahagia selamanya. Sehingga masing-masing dari kita mungkin sudah sejak kecil terbiasa dengan pikiran itu. Masa muda dihabiskan untuk bertanya-tanya jodoh itu yang seperti apa? Jodoh kita yang bagaimana? Dan ketika semua pertanyaan itu terpecahkan dengan munculnya jawaban maka ya sudah, problem solved.

Padahal nggak sesederhana itu.

Rumah tangga itu kompleks, dan ketika sudah berumah tangga maka itu berarti kita sudah naik level. Naik level untuk permasalahan yang lebih beragam, naik level untuk cara pemecahan yang semakin lama juga harus semakin taktis.

Pada salah satu novel Ollie, ada kisah mengenai rumitnya hubungan antara menantu wanita dengan ibu mertua. Saya lupa sih bagaimana cerita lengkapnya, berhubung bacanya juga sudah lama banget euh 5-6 tahun lalu? Tapi novel itu yang saya ingat ketika membaca share sebuah akun di dunia maya tentang perbedaan ibu kandung dan ibu mertua. Pemilik akun itu juga menulis bersama dengan gambar perbandingannya bahwa dia benar-benar merasakan hal serupa, merasakan ketidaknyamanan dari ibu mertua.

Hal yang saya coba tanamkan dalam pikiran ketika hendak menikah adalah bahwa setelah menikah itu berarti saya terlepas dari kedua orang tua dalam segala keutamaan, terkecuali nasab tentunya. Saya tak lantas mengganti nama belakang saya dengan nama suami karena nasab saya tidak pernah berubah sampai kapanpun. Tapi saya lantas mengutamakan suami baik untuk izin pergi atau kepentingan lainnya, bakti seorang wanita telah berubah kepada suami, bukan lagi kepada orang tua setelah ijab. Tapi bakti suami tetap sama kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya.

Dengan berpikir seperti itu maka selalu tidak ada alasan bagi saya untuk menghalangi bakti suami kepada ibu, karena itu merupakan salah satu tanggung jawab sekaligus ladang pahalanya. Dalam rumah tangga tentu sih harus ada keseimbangan, istri harus mengerti hubungan antara suami dan kedua orang tuanya, jauh-jauh dari pikiran menganggap ibu mertua adalah rival. Ibu mertua juga seharusnya mengerti posisi diri dan tidak menggunakan otoritasnya untuk bersaing dengan menantu.

Yang sebenarnya adalah, saya beruntung memiliki mertua apalagi ibu mertua yang sama sekali tidak seperti digambarkan dalam novel dan share media sosial itu. Berbeda pendapat sih wajar, berhubung dengan orang tua sendiri saja kita sering berselisih paham. Ya kan?

Justru untuk berusaha menghilangkan gap itu, kita sebagai menantu juga harus mendekatkan diri ya kan? Cara yang paling mudah menurut saya adalah lebih sering ke dapur untuk memasak macam-macam, untuk mertua juga. Dan jika beliau sedang memasak saya suka mendengar petunjuknya dalam mengurus rumah atau dapur bahkan sekecil cara membersihkan kompor gas yang biasanya beliau lakukan 2 minggu hingga sebulan sekali dengan memakai Sunlight. Mengapa memakai Sunlight, cairan sabun untuk cuci piring itu? Karena Sunlight mampu menghilangkan kelengketan bekas makanan dan sisa minyak yang tersisa di kompor dan sekitarnya. Saya tahu saya butuh, karena mami saya sudah nggak ada pada saat saya masih ababil dan kami masih menggunakan kompor minyak dulunya jadi saya belum pernah mendapatkan arahan detail seperti ini.

Ibu mertua saya selalu keheranan setiap saya mengambil buku catatan untuk menulis resep masakan ala beliau. Saya sampaikan kepada beliau bahwa, ini bukan karena saya nggak bisa memasak masakan itu, tapi pasti hasilnya beda sama racikan ibu. Karena bagi seorang anak, nggak terkecuali bagi suami yang adalah anak beliau, masakan ibu selalu ngangenin dan nggak tertandingi rasa khasnya. Ya kan? Dan beliau tertawa, menepuk lengan saya kemudian bilang,"ah masa?"

Orang tua juga selalu senang kalau masakannya dipuji, I always found some spark in her eyes when I tell her that her food was finger licking good. Itu adalah cara saya bersyukur bahwa meskipun mami sudah tidak ada, tapi ada beliau yang jelas-jelas bukan tim ibu mertua jahat seperti yang sebagian besar para menantu perempuan keluhkan.

Saturday, May 28, 2016

MENGOBROL UNTUK MENDEKATKAN

Sebagai pasangan muda, bisa dibilang kami - saya dan suami - nggak selalu setiap waktu ngobrol. Kadang dia kerja langsung dua shift dan capek berat kemudian menghabiskan waktu untuk tidur dan istirahat sebisa mungkin, saat saya sedang rempong di dapur. Dia orang yang mau merepotkan diri membantu saya di dapur atau beres-beres, tapi saya justru kasihan karena dia jadi kurang waktu untuk istirahat.

Jadi seringnya obrolan kami justru terjadi saat sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga bareng, dan pastinya topiknya juga jadi seputar itu. Misalnya mengenai standar kematangan pisang goreng crispy yang sedang dia bantu membalik-balik didalam genangan minyak panas. Waktu untuk bisa ngobrol dengan layak itu priceless.


Tuesday, April 26, 2016

SHORT GATEAWAY STORY : OUR FIRST MARUGAME UDON


Saya menyadari bahwa saya jadi nggak gitu doyan makan selama beberapa bulan terakhir. Masak masih suka, masih suka juga nyobain resep baru, tapi saya ngeh kalau memang nafsu makan saya turun. Saya ternyata adalah tipe orang yang makannya semangat kalau ada temannya, dan untuk waktu yang lama saya mendapatkan semangat itu dari kantor. Makan siang bareng teman kantor, acara ngemil sore dan weekend makan diluar bareng teman sampek niat banget bikin janji beberapa hari sebelumnya dan browsing-browsing tempat makan mana lagi yang mau kami cobain. Pantesan selama di Jakarta timbangan udah raib di buang duluan *LOL.

Sementara di rumah, si paksu (pak suami) sibuk banget karena kerja shift. Jadi kemalas-makanan saya juga menjadi-jadi, cuma makan kalau beneran laper dan menghindari sakit maag, cuma makan secukupnya saja pula. Bukan berarti ada korelasinya sama timbangan sih :))) Masih jauh target kurus 2016-nya. Hihi. Saya juga sering pengin cemilan diluaran akibat malas makan ini, meskipun seringkali bikinan sendiri bahkan lebih oke karena nggak pelit bahan atau bumbunya lebih banyak dan beragam. Saking doyannya saya sama jajanan abang-abang, si paksu akhirnya sampai beliin beberapa plastik frozen food pemasok jualan abang-abang semacam tahu aci, cireng tipis dan sosis ala-ala. Biar tiap pengin bisa langsung goreng sendiri.

Menjadi istri yang tinggal di rumah itu membutuhkan banyak penyesuaian, apalagi kalau sebelumnya kita terbiasa banyak beraktivitas di luar. Meskipun ketika berada di rumah tidak menutup kemungkinan kita tidak bisa bekerja freelance atau punya uang dari jeri payah sendiri. Tapi pasti juga ada perbedaan yang bisa langsung kita rasakan. Mengerjakan pekerjaan kita di rumah berarti tidak ada rekan seberang ruangan yang bisa ditanya sambil diajak ngobrol, berarti tidak ada teman curcol kerjaan ketika makan siang dan berarti juga kita kerja sendiri tanpa staff tanpa bantuan. Iya sih semacam nggak ada bossnya gitu, tapi juga nggak ada sumberdaya lain yang bisa kita kerahkan untuk membantu pekerjaan kita. Belum lagi pekerjaan rumah lainnya.

Jadi makanya saya nggak heran kalau ada ex-wanita kantoran yang semula pas hari libur pengennya di rumah doang udah seneng banget tiduran nonton tv nggak jelas sekarang setelah jadi stay at home wife jadi seneng banget jalan keluar rumah biarpun cuma ke suparmarket beli saus sambel botol :P Wajarr banget itu mah.

Karena itu pas tahu-tahu si paksu lowong atau libur, kami biasanya memutuskan untuk jalan-jalan keluar. Sekadar nonton makan atau snacking di luar sambil ngobrol panjang lebar. Kayaknya simple dan waktunya juga nggak gitu lama sebenarnya, tapi sudah cukup bikin saya happy. At least makannya barengan, ada yang nemenin dan bisa sambil ngobrol. Soalnya waktu makan bareng sudah menjadi hal yang nggak selalu terjadi, kalau dia berangkat pagi saya siapin dia bekal, siang saya laper biasanya terus makan, sorenya dia pulang dan belum laper, malamnya dia makan malem, saya nggak berasa pengin makan. Kadang sih kalau seharian lupa makan pas malem itu saya suka makan dari piring dia ala lagu dangdut jadul makan sepiring berdua.

Anyway, short gateway kami kemarin ini makan Marugame Udon saking saya kangen makan mi udon ini, terakhir sudah lama banget pas masih di Jakarta. Berhasil 'memaksa' dia ikutan makan juga tapi yang dipilih menunya beda, meskipun dia bukan penggemar udon. Well saya juga bukan penggemar udon, tapi si Marugame berhasil membuat saya berubah pikiran mungkin karena cengeknya (cabe) yang free flow, berhubung saya penggemar pedes. Jadi seger aja kuahnya banyak pake cabe yang banyak. Jadi ini Marugame Udon pertama kami, pertama beneran buat dia dan pertama kalinya makan makanan ini bareng. Setelahnya nonton juga sih, The Huntsman : Winter's War. Review menyusul deh. Kami lebih suka nge-date kalau hari kerja, karena kalau weekend sudah pasti susah parkir dan macet. Plus weekdays sering ada promo macem-macem *teteup.

Ada yang punya cerita short getaway dengan pasangan juga? Biasanya kemana? :)

.

Wednesday, March 16, 2016

Mungkin Gerundelan atau Entah (?)

Saya sedang tidak enak badan, beberapa hari ini. Pusing saat duduk agak lama depan layar laptop, pusing saat membaca terlalu lama, pusing saat harus menoleh ke atas untuk mengangkat jemuran hingga akhirnya saya harus minta tolong si mas untuk menyelesaikannya buat saya.

Sampai demam pula, meskipun sekarang demamnya sudah berakhir... terima kasih banget sama bapak dokter yang telaten merawat saya. Tapi masih merasa nggak bertenaga, maunya tidur terus. Dan pas malam malah sering terbangun, susah tidur. Mungkin karena pusingnya juga.

Cukup banyak pelajaran beberapa hari ini, saya masak puding dan hasilnya si puding malah jadi hambar. Nggak berasa gitu, dingin doang. Lidah saya yang sedang gangguan memang bikin memasak jadi nggak optimal. Plus pusing juga bikin pie cokelat saya jadi keenceran toppingnya, belum karena pengin buru-buru udahan nggak sabar gitu pas ngangkatnya. Jadi deh pie cokelat bentuk keping-keping mozaik gitu... untunglah ketolong dengan rasanya yang enak.

Pada momen yang seperti ini saya merasa bahwa kesehatan selain sangat berharga juga adalah bagian dari rezeki. Iya rezeki, Allah memberi dan sewaktu-waktu bisa diambil kembali.

Tapi rasa sakit yang dialami tubuh juga merupakan bagian dari rezeki, kalau saya bersabar setiap sakit akan menggugurkan dosa-dosa yang telah saya perbuat. Masalahnya sering tanpa sadar saya mengeluh, sementara keluhan itu bisa jadi parameter dari tidak sedang bersabar. Memang susah mengajari diri sendiri, apalagi kalau masalah hati. Dalam hati gerundel karena merasa nggak enak, sering dilanjutnya jadi omongan lewat mulut. Mungkin badan saya cuma sedang pengin istirahat untuk mengumpulkan energi.

Malah sedang nggak doyan makanan yang biasanya justru saya sukai, entah deh ya...
Tapi saya selalu tetep suka banget sama indomie bikinan si mas. Dia lebih sering bikinin yang goreng, pakai telur, nggak pernah pakai cabe padahal saya doyan pedes. But he's good, really. Saya juga nggak ngerti kenapa yang dia bikin lebih enak daripada yang saya bikin sendiri. Indomie versi si mas buat saya adalah indomie paling enak yang pernah saya makan, nomer duanya baru deh versi kayungyun di Malang dan versi warung pinggir jalan.

Somehow setiap saya makan jadi bikin saya merasa bahwa hal-hal yang nggak enak yang saya alami apapun itu, cuma sesuatu yang temporer, bahwa akan banyak hal baik yang menyusul kemudian.
Selalu seperti itu.




.

Friday, February 26, 2016

Pillow Talk Series

"Nggak kebayang ya, gimana kalau nanti sekolah lagi. Berarti harus keluar dari zona nyaman saat ini."
"Iya... susah sih. Namanya keluar dari zona nyaman itu macam-macam, dan biasanya nggak enak. Ya gitu kan... zona nyaman namanya juga zona yang nyaman. Ya pasti nyaman. Keluar dari situ... berarti kan nggak nyaman. Jadinya ya kayak aku gini"
"Maksudnya?"
"Ya sekarang, kayak gini. Enggak ngantor."
"...."
"...."
"Ngomong apa sih? Nggak ngerti..." dia ngomong dengan muka lempeng serius, dan nggak tahu kenapa kok saya malah ketawa keras karena merasa lucu, nggak menjelaskan lebih lanjut.
Ah gimana ya... kadang kita pengin sekadar ngomong melepaskan beban, tanpa ditanya-tanya, kadang tanpa dipahami juga sama sekali nggak jadi masalah.

Kita semua - atau mungkin cuma saya ya? - selalu punya momen untuk hanya pengin ngomong saja, melepas yang sedang ada di pikiran. Kemudian sudah. Cuma itu.


.

Tuesday, February 23, 2016

Big Day, Less Happiness

"Kadang hidup jadi lucu ya, tahu enggak aku malah bersyukur sekarang karena nggak ikutan wisuda sarjana saat itu. Aneh di keramaian, ya mungkin bakal ada teman-teman yang berbaik hati mau hadir tapi tetep bakalan jadi lelucon besar karena walinya malah nggak hadir. Dari yang mestinya bahagia jadi kenangan enggak enak yang kebawa-bawa sampai nggak tahu kapan...,"

"...paling enggak yah buat aku sendiri,"

"...tapi nanti di jenjang berikutnya insyaAllah aku harus tetep wisuda, soalnya ada kamu yang bakalan hadir,"

"...dan saat itu aku nggak perlu takut hari bagusnya jadi lelucon sepanjang masa yang nggak lucu."

Gitu.


Tuesday, December 8, 2015

Confession

Sudah cukup lama sejak saya memutuskan berhenti mengucapkan selamat ulang tahun. Meski tetap mengirimkan kado sebagaimana saya menyukai kehadiran orang-orang dalam hidup saya.
Mungkin saya melupakan momentum tepat waktu kelahiran saya dan suami karena terlalu sibuk dan kecapekan. Namun saya selalu mensyukuri hari lahir si mas.

Mensyukuri dia terlahir sehat dan dibesarkan sepasang orang tua yang hebat sehingga menjadi orang yang saya yakin bersama dia segala hal menjadi lebih mudah daripada yang seharusnya.
Menjadi orang yang saya tahu saya bisa menyandarkan harapan dan keluhan saya di pundaknya.

Saya rindu si mas dan kenyamanan melakukan sesuatu yang kami suka masing-masing dalam diam tetapi tetap menyenangkan. Rindu belanja snack bareng, saya yang mikirin kalori dan dia yang mikirin diskon biar belinya dapet banyak :p

Edisi ngemil malem yang diawali dia mendadak laper dan saya yang mikir-pikir efeknya kalo mau ikutan makan tapi melihat dia  makan yang kayaknya jadi enak banget makanannya, berujung ngerecokin. Debat-debat kecil yang ngeselin, becandaan kriuk garing, yah semuanya..

Ketika jalan-jalan kemanapun, setelah menikah pola belanja saya yang sebelumnya cuma tertarik sama buku dan jajanan jadi berubah... jadi suka melihat produk-produk cowok dan membelinya sebagai hadiah untuk dia.

Namun hadiah ulang tahun pernikahan dan hari lahir saya yang paling besar buat dia adalah berakhirnya long distance marriage kami. Paling tidak saat ini sudah tinggal menghitung mundur waktu sebelum long distance marriage kami berakhir. Bagi sebagian besar orang mungkin, hadiah yang memberatkan.

Namun hadiahnya juga tidak kalah besar, menjadi apapun yang saya butuhkan, suami sekaligus kakak, kekasih dan sahabat terbaik. Yang mana bukan hal yang mudah, mengingat saya ini sering pundung dan nggak sabaran :)
so, thank you
thank you very much for being my husband :)
my adorable husband
we belong together till jannah insyaAllah
I love you.


pic source

Saturday, October 24, 2015

A & A

I'm sure I made from a part of you.







.

Saturday, August 8, 2015

Menikah dan Memasak

Sebagai pasangan yang boleh dibilang belum lama menikah dan ceritanya masih belajar menu-menu makanan yang disukai dan enggak sama suami. Karena terpisah jarak, jadi ketika akhirnya ada waktu ketemu saya selalu mengusahakan memasak sesuatu untuk suami. Entah makanan yang dia suka atau makanan uji coba yang belum lama tahu resepnya. Dari makanan berat sampai cemil-cemilan segala macam.

Bagi wanita yang bisa masak meskipun nggak sampek yang super jago gitu, penting sekali untuk punya rutinitas memasak karena entah memang saya aja yang demikian atau orang lain juga… skill memasak harus dilakukan rutin karena jika tidak, kita harus mengulang lagi dari awal dan mengingat-ingat komposisi yang pas menurut lidah kita. Saya memasak waktu masih mahasiswa demi menghemat dan sering juga nyobain menu dari yang umum sampek jenis masakan luar seperti macaroni schotel yang banyak rempahnya :D hehehee. Hanya karena kalau pakai menu aslinya kok kurang berasa sreg di lidah jawa timur saya. Karena itu saya selalu menyempatkan untuk masak sendiri pas ketemu suami, hanya biar nggak lupa juga cara masak makanan-makanan yang dia sukai dan takaran pas untuk bumbu-bumbunya yang cocok di lidah. Sisi menyenangkan dari punya suami yang nggak bisa memasak kecuali masakan instan adalah: dia nggak banyak complain pada hasil masakan saya. Yang penting enak dimakan meskipun bentuknya kurang cakep. Haha.

Jadi pas kami nggak lagi pengin nyobain makanan luar, saya suka browsing resep makanan praktis untuk cemilan kalau sudah masak makanan berat untuk makan utama. Penginnya sih yang bahannya sudah ada, nggak banyak proses dalam memasak dan nggak makan waktu lama untuk bikin. Dari yang pancake, pancake mini, kue cubit setengah matang yang niatnya dimasak setengah matang tapi hasilnya malah matang semua sampai French toast (all time favorite dari jaman SMA ketika skill masak masih taraf angka 1 dari 1-10 hehe). Jadi sekarang nyobain apa lagi ya?

Habis browsing resep makanan praktis sih dan nextnya nyobain oreo goreng yang dibikinnya gampang dan bisa melted ditengah kayak punyanya PHD ituuu. Semoga sukses deh yaa…

 
~

Sunday, June 14, 2015

He's The Best :)

Wednesday, June 3, 2015

What if...

Entahlah, saya sendiri bingung harus bagaimana menata perasaan, namun yang jelas banyak sekali hal yang saya khawatirkan akhir-akhir ini.
Beraneka what-if...
Setelah pulang kerja dan beranjak memencet televisi di kamar, menaiki tempat tidur karena merasa terlalu lelah untuk segera membersihkan diri, saya bingung harus bagaimana.
The most lovely men on earth got sick. Ini sudah entah keberapa kalinya, dan setiap terjadi saya merasa sangat sedih. Dia selalu taking care orang sakit dengan baik, dicampur kelelahan lantas jatuh sakit juga. Terutama karena saat ini kami sedang berjauhan. Iya, we're in a long distance marriage.
Saya tengah menunggu kepindahan yang belum juga ada kabar berita bagus agar kami tidak berjauhan.

Alasan untuk belum pindah kerja adalah masih ada ikatan dinas, alasannya demikian. Dendanya tidak sedikit. Dan untuk sekarang saya masih butuh biaya untuk adik saya yang masih kuliah.  Saya tidak ingin membebani dia dengan tanggung jawab yang semakin berat dan meletakkan semua itu beserta impian saya bulat-bulat di pundaknya padahal sekarang pun sudah cukup. Sementara setiap kali dia sakit saya cuma ingin segera beli tiket pesawat kemudian merawat dia dengan baik.

"Atau kita menetapkan domisili di Jakarta?" dia bertanya memberikan pilihan. Sementara saya tidak mempunyai cukup alasan untuk bertahan karena jauh dari keluarga, sementara kami sama-sama anak sulung punya tanggung jawab akan orang tua yang usianya sudah mulai senja. Kecuali dengan beberapa kondisi, dan itu pun sementara bukannya selamanya.

Dan apakah pergi dari tempat ini mudah?
Bisa dibilang hati saya sudah berada disini karena toleransinya dalam beragama yang sangat kuat terutama di anak perusahaan yang ini, karena interaksinya, karena buat saya ini adalah tempat pertama saya mengenal dunia kerja. Banyak tempat kerja yang menawarkan fasilitas yang lebih bagus dan gaji yang lebih tinggi, namun... keleluasaan beribadah? Sungguh langka sekali. Bahkan badan usaha pemerintah yang berasaskan pancasila pun juga membuat peraturan tertulis yang sedemikian membuat saya sedih. Muslim menjadi mayoritas di negara ini namun tidak mendapatkan penghargaan dan penghormatan yang sepadan.

Saya kemudian membuat keputusan yang entah kenapa saya merasa ini adalah keputusan yang sangat besar. Hati saya terasa rapuh ketika mendengar berbagai macam kabar yang kurang menyenangkan, serta berita yang melelahkan. Namun hati saya semestinya tetap harus memproduksi dan stock kekuatan. Saya menetapkan masa menunggu paling lama untuk diri saya sendiri. Dan setelah itu saya serahkan kepada Allah.

Oh Allah... bimbing langkah saya.




Friday, May 29, 2015

Pengantar Tidur

Pada saat sedang tidak bisa tidur, banyak sekali hal-hal yang saya pikirkan seperti misalnya... seperti apa dia dulu pada saat masih bayi, balita, usia SD, usia SMP, usia SMA. Kedengarannya lucu tapi saya senang mendengarkan dia bercerita tentang hal-hal yang saya lewatkan selama saya tidak mengenal dia. Apa yang dia sukai, hal-hal yang merubahnya. Kejadian-kejadian yang membentuknya hingga menjadi seperti sekarang.

Jadi saya sering memberondongnya dengan pertanyaan yang kemudian membuat dia meletakkan game yang sedang dimainkan dan menjawab kemudian bercerita panjang menjelang jam tidur saya.
Cerita-cerita yang menjadi pengantar tidur terbaik bagi saya saat ini.

Pada saat itu, ingatan saya kembali ketika saya masih berada pada usia yang masih sangat muda. Bertanya-tanya setiap kali mendapati teman sebaya menjalin ikatan dengan teman sebaya lainnya, ikatan rapuh yang bisa sambung dan putus seperti karet gelang bungkus nasi... seperti apakah teman hidup saya kelak? Apakah seperti kata orang bahwa teman hidup akan mirip satu sama lain, atau bersifat kebalikan satu sama lain hingga saling melengkapi. Orang seperti apa dia? Apakah pendiam dan tenang seperti karakter komik yang digila-gilai remaja seusia saya ataukah yang bagaimana?

Pada saat itu saya bertanya-tanya, apa jadinya kalau saya bertemu dia lebih awal.. misalnya sepuluh tahun yang lalu? Apakah perasaan pada saat itu akan sama dengan yang ada saat ini?
Mungkin tidak, karena dia sepuluh tahun yang lalu adalah seseorang yang kau bisa menstandarkan keteladanan padanya. Dan saya adalah pelajar yang sering sekali dihukum karena terlambat, sering pulang lebih awal ketika jam pelajaran kosong dan sebagainya. 

Pada saat yang sama saya melihat dia, perasaan saya buncah penuh kesyukuran. Wujud jodoh yang semula begitu tidak terbayangkan, rupanya seperti ini. Seseorang yang dengannya waktu berjalan cepat tidak terasa. Seseorang yang dengannya segalanya terasa tenang, baik-baik saja dan mampu dihadapi bersama. Seseorang yang dengannya segala rasa pedih bisa disandarkan dibahunya sekaligus menghasilkan keinginan kuat untuk selalu melindungi dari apapun yang melukai.


pic source

Tuesday, February 24, 2015

Menikah itu..


Menikah adalah belajar.

Seperti ketika kamu baru masuk kuliah atau lingkungan kerja. Menikah adalah seperti itu. Bukan cuma soal kalian berdua, tapi juga keluarganya dan kebiasaan yang ada di dalamnya. Keluargamu dan permasalahan yang turut serta.
Menikah buat saya adalah lingkaran lingkungan yang baru. Apa saya sudah cukup behave dengan berkata atau melakukan sesuatu?

Menikah adalah tempat belajar, bahwa ada banyak hal yang mesti kamu jaga sekarang, ada banyak hati yang perlu dirawat.

Menikah adalah bentuk lain dari perjuangan. Bahwa keluarga adalah tempat pulang yang paling nyaman, kalianlah yang harus membuatnya selalu paling nyaman. Kalianlah yang mengaturnya sehingga tetap demikian.

Saya bertumbuh dalam lingkaran ini. Pertumbuhan yang tidak instan, saya tahu.
Tapi apakah ada belajar yang hasilnya instan? Sekali baca buku langsung pintar dalam segala hal?
Enggak.

Tidak masalah, bukankah itu kekuatan proses? ;)


.
pic from here

Next Page Home