Saturday, August 7, 2021

MENCINTAI IDE JATUH CINTA



namanya juga lamunan, hampir selalu lebih indah
dari kenyataan

Ketika usia kita lebih muda, rasanya jatuh cinta terasa mudah. 

Kita bisa jatuh cinta pada senior populer di sekolah, junior yang sopan dan bikin gemas. Bahkan ketemu sekali langsung simpati dan fall in love juga sangat mungkin. 

Kisah cinta saya di masa muda seperti itu, semuanya indah karena nggak pernah ada yang jadi kenyataan haha.

Saya jadi teringat scene Yoon A Reum di drama Master Kim, 

Cinta sepihak itu cukup efisien karena aku jatuh cinta dan patah hati sendirian. Mari lewatkan bagian perkenalan, berkencan dan pertengkaran. Cinta sepihak itu efisien dan tidak terlalu merepotkan.

Dalam seumur hidup saya, saya telah melalui banyak cinta sepihak, termasuk era fangirling pada masanya. Semua terasa masuk akal, meskipun hanya terjadi di alam halu. Memang benar berasa kalau ada artikel yang mengatakan bahwa otak manusia akan berada dalam pertumbuhan maksimal dan puncak kedewasaan di usia 30. Karena setelah saya ingat dan pikir ulang apa saja yang saya lalui di masa muda, saya seolah hidup dengan kondisi isi kepala cuma ada setengah, belum genap benar.

Saya juga sering kemakan artikel majalah, terutama diusia SMP dan awal SMP, menyamakan diri dengan artikel-artikel majalah remaja padahal yang saya alami jauh berbeda.

Saya pernah fall in a deep crush pada seorang senior ketika saya masih di bangku SMA, dia populer di masa itu dan kali ini alasannya cukup masuk akal. Untuk cowok seumur dia, dia terlihat bertanggung jawab dan memiliki pengendalian emosi yang sepertinya cukup mumpuni - dari kacamata saya tentu saja, diluar popularitas dan prestasinya. Karena saya sebenarnya pun nggak kenal dia secara personal. Opini ini terbentuk karena testimoni beberapa orang, baik teman dia ataupun teman-teman saya.

Belum lagi saya sempat kemakan artikel majalah dan mengiriminya pesan anonim. Ketika dia sudah nyadar kalau yang kirim pesan itu saya, dia sering menyapa dengan senyuman kalau kami nggak sengaja berpapasan di sekolah. Senyum sopan aja sih, bukan seperti isi novel remaja karena waktu itu dia kemudian punya pacar.

Tapi meskipun tinggal di alam halu, kesannya menetap dalam kepala saya sampai masa awal bangku kelas 3 SMA. Iya saya pun heran menyadari betapa sepertinya ini perasaan paling kuat yang pernah saya miliki untuk orang yang tidak benar-benar saya kenal.

Hingga pada masa kuliah dan diluar perkiraan, kami kuliah di kampus yang sama. Selazimnya mahasiswa yang berasal dari kota yang sama di masa itu, ada kalanya kami berkumpul hanya untuk makan dan ngobrol bareng di suatu tempat. Pada masa itu saya sudah lebih dewasa dan logis sehingga ketika makan bareng dan dia ada di hadapan saya, saya bisa mengobrol dengan normal. Karena aslinya saya memang nggak pendiam, jadi saya santai aja menyapa dia dan mengobrol seperti ngga pernah terjadi apa-apa di masa lalu.

Di akhir obrolan kami sebelum kumpul-kumpul ini bubar, dia bertanya sesuatu yang bikin saya mikir sejenak sebelum menjawab,

"Kok kamu sekarang rame ya, dek? Dulu kenapa ya kalau tiap ada saya kamunya diem banget?"

Dia manggil saya dek lantaran kebiasaan kota kecil saya rasa, selain dia juga yang bertanggung jawab terkait kegiatan orientasi siswa ketika saya baru masuk SMA waktu itu.

Saya mikir bentar sebelum jawab karena nggak mungkin juga kan saya ngomong kalau waktu itu saya diem karena ada perasaan, sekarang kan sudah nggak.

"Ya soalnya waktu itu segan karena sebenernya nggak kenal, aslinya saya ya begini," sembari ketawa, saya menjawab.

Namun acara kumpul-kumpul itu bikin saya lebih mengenal dia. Kami berbalas chat, berteman di media sosial, murni komunikasi antar teman yang berasal dari daerah yang sama sih. Tidak seperti novel romance young adult seperti yang bisa dibayangkan ketika membaca posting ini. Masnya punya pacar, saya kenal pacarnya karena mbak pacar juga senior saya di SMA. Iya mereka masih awet sampai saat itu meskipun putus nyambung.

Yang pasti ketika lebih mengenal dia, saya menyadari bahwa banyak yang ternyata tidak sesuai dengan persangkaan saya di masa lalu. Dia adalah pendengar yang baik, benar. Tapi dalam berkomunikasi saya merasa seperti ada yang tidak pas, ada perasaan tidak nyaman yang bikin saya ngerasa bahwa dia tidak bisa mengimbangi saya dalam menjalin obrolan. Mungkin karena beda frekuensi atau karena beda kepribadian mungkin ya. Bisa jadi. Oh mungkin juga karena saya rada nyeleneh orangnya - berdasarkan pendapat beberapa teman.

Pernah juga saya ngomongin soal buku, saya suka banget baca buku sampai honor menulis saya waktu itu sering habis untuk beli buku. Ya tentu saja buku fiksi yang kebanyakan populer bukan buku-buku sastrawan besar. Waktu saya ngomongin buku, dia juga nyautin kalau dia suka baca buku juga. Dia mention buku-buku yang dia baca dan bukunya sastra berat semua sampai saya heran sendiri. Samar, saya juga ngerasa dia agak tersinggung sih tanpa saya ngerti kenapa. Saya suka baca buku karena buku kuliah sudah cukup serius untuk digeluti saban hari. Makanya kalau saya lagi pengin baca buku, tentu saja lebih suka jenis buku yang bikin ngikik-ngikik bodoh bukan yang bikin kening saya kudu berlipat-lipat keriput.

Saya nggak tahu dia mention buku-buku serius itu memang karena ingin menimbulkan kesan tertentu atau memang demikian adanya. Kedua alasan itu mungkin jadi sebab mengapa kami nggak terlalu nyambung saat ngobrol. Meskipun ya masih ngobrol dalam frekuensi normal juga.

Di titik ini saya mulai mikir ulang soal masa lalu saya yang pernah deep crush sama dia, kenapa waktu itu bisa suka sampai selama itu ya? Padahal alasan-alasan saya hanya dari sudut pandang orang luar yang tidak mengenal dia sama sekali. Bukan karena dia orang yang nggak mengesankan sih, karena secara objektif dia tetap orang yang baik, good boy, sederhana dan nggak neko-neko. 

Ini juga bukannya bikin penilaian saya ke dia jadi drop, saya cuma jadi menyadari bahwa yang saya lakukan selama ini bukannya fall in a deep crush sama dia. Rupanya selama ini saya cuma sedang mengagumi ide saya sendiri tentang dia, kagum pada pikiran yang saya miliki tentang dia. Yang saya alami mungkin hanya bentuk lain dari jatuh cinta sendirian, jatuh cinta pada prasangka yang saya miliki, bukan pada orangnya. Bayangkan bahwa selama 3 tahun saya cuma sedang jatuh cinta pada prasangka.

Meskipun butuh waktu yang lama (sekali) untuk menyadari ini, namun saya juga paham akan alasan mengapa saya bisa naksir dia selama itu dulunya. Karena saya naksir sama bayangan yang saya miliki tanpa kenal orangnya, maka saya nggak punya alasan untuk mengakhiri ini. Tidak dengan segitu sempurnanya bayangan yang saya miliki dan bentuk tentang orang ini. Bayangan bahwa dia orang yang begini dan nggak mungkin begitu. Bayangan itu mungkin sebagian besar benar, tapi saya nggak pernah membayangkan kalau hanya dengan beberapa kali obrolan akan membuat saya nyadar bahwa kami nggak cocok, bahkan meskipun cuma sebagai teman ngobrol.

Kejadian kedua adalah ketika saya sudah lebih dewasa.

Tanpa sengaja saya bertemu lagi di media sosial dengan seseorang di masa lalu, crush yang saya miliki ketika saya lebih muda lagi. Alasannya juga lebih dangkal lagi dari cerita saya yang sebelumnya. Dia terlihat persis dengan karakter pemeran utama pria versi muda dalam drama Korea lama, Endless Love. Ini bikin teman-temannya menjuluki dia dengan nama si karakter utama. 

Seperti si aktor, wajahnya oriental tapi ketika ngeh saat dia sedang ujian praktek sholat sunnah di sekolah, kayaknya itu awalnya jatuh cinta sendirian yang pertama kali ini terjadi. Dipupuk dengan karakter cowok ini yang memang pendiam dan cerita dari teman sekelas kalau dia ternyata tipe orang yang tidak mau pacaran. Iya cuma gitu saja. Sebagaimana ini berawal, cerita ini juga berakhir dan terselesaikan sendirian.

Saya sama sekali nggak nyangka ketika belasan tahun berlalu dan entah gimana saya bisa ketemu lagi di media sosial, dimana era media sosial bikin kita bisa memiliki penilaian yang lebih valid tentang karakter seseorang... hmmm gimana ya, tapi saya rasa waktu itu ternyata saya juga cuma naksir pada ide saya tentang dia, bukan pada orangnya. 

Memang sekali lagi butuh waktu yang sangat lama, karena itu terjadi dulu banget saat hidup rasanya baik-baik saja meskipun tanpa smartphone. Tidak seperti jaman sekarang dimana ketika kita naksir seseorang, kita bisa langsung cari media sosialnya lantas stalking secara intensif. Dari situ kita bisa mengenal karakternya minimal dari branding yang dia tampilkan di sosial media dan tahu apakah kita cuma jatuh cinta pada ide yang kita miliki soal dia atau kita beneran jatuh cinta.

Perjalanan yang cukup panjang dipikir-pikir, kalau pun harus ditutup dengan hikmah... sekalipun perlu waktu tapi pada akhirnya Allah yang paling tahu dan Allah hanya memberi apa yang kita perlu, bukan yang kita mau pada suatu waktu. 

Tapi kalau diingat kembali rasanya semakin muda maka urusan jatuh cinta semakin mudah. Semakin muda, kita tidak memerlukan banyak alasan untuk jatuh cinta. Jatuh cinta hanya perkara perasaan, tanpa banyak pertimbangan, tanpa harus dipikir-pikir dari sisi logis juga. Pun kita juga tidak memerlukan banyak pertimbangan untuk patah hati dan move on. 

Saya ingat cerita seorang teman dekat yang sudah menjalani hubungan dengan teman masa kecilnya sejak di bangku sekolah. Mereka kuliah di kota yang berbeda dan nyaris tidak pernah bertemu lebih dari setahun sekali. Ketika mereka berdua sama-sama bekerja maka perasaan itu semakin lama semakin luntur. Namun dia memilih untuk mempertahankan hubungannya demi masa depan yang sudah mereka rencanakan, keluarga yang sudah saling dekat serta keengganan untuk mengenal orang baru dan menjalani proses pendekatan dari awal. 

Semakin umur bertambah, hubungan sudah menjadi lebih dari ikatan perasaan dan bermacam pertimbangan. Bahkan ketika hubungan menjadi sulit dengan segudang sebab lain yang membuat hubungan itu sebenarnya tidak dalam kondisi yang sehat untuk terus dipertahankan, tapi pada kenyataannya banyak orang dewasa lebih memilih untuk mempertahankan dengan beragam alasan.

Urusan perasaan rupanya semakin bertambah rumit seiring kita bertambah dewasa.

2 comments:

  1. iya juga sih yah kalau dipikir - pikir, semakin muda semakin mudah buat jatuh cinta, tapi semakin dewasa kenapa jadi seakan banyak pertimbangan, tapi apa semua orang juga seperti itu, pantes aja suka ada istilah cinta monyet. Apa mungkin harusnya orang dewasa juga berpikir seperti halnya remaja yang kalau jatuh cinta yah sudah jatuh cinta saja tidak perlu banyak pertimbangan. Menarik sekali ceritanya, tapi ini bener2 releate sih, dari mulai jatuh cinta sama imajinasi sendiri, itu bener2 memang ada dan terjadi, cuma banyak orang yg mungkin gak sadar akan hal itu, mungkin saja saya juga dulu seperti itu. hahaha

    ReplyDelete
  2. Buku yang bikin ngikik-ngikik bodoh XD
    Ngerti deh hahahhahaha

    I can relateee kak nyinnnn

    Dulu juga pernah naksir banget sama kakak kelas ku di sekolah
    Selalu liat dr jauh aja gimana dia aktif di Osis, berpendirian, tegas

    Yaudah gitu I have my own "wow" factors inside my brain
    Yang gatau apa emang begitu atau enggak

    Kayak she was the most perfect girl I had ever seen in my entire life gitu lho. Semua sisi-sisi baik nabi kayaknya ada di dia hahahaha

    Terus pas akhirnya bisa lebih banyak lihat kesehariannya dan tau beberapa sifat-sifat cewek biasa yang ia punya.....
    ilfeel sendiri ahahahahaha

    Sejak itu kayak gapernah kagum yang kagum kagum banget gitu lagi deh sama orang

    I mean, semua tentu akan menunjukkan sisi terbaik nya di hadapan orang banyak

    Tapi hanya saat tinggal kita dan dia lah, baru kita sebenarnya bisa menilai dia orang yang seperti apa. Ya nggak sih hahahaha

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Previous Page Next Page Home