Friday, March 20, 2009

ibu dalam sayap hitam - a short story by anindyarahadi

Kalau ada orang yang mengatakan kasih Ibu sepanjang jalan dan kasih ayah sepanjang galah, aku tidak akan pernah percaya.
Karena disinilah aku saat jingga memeluk langit, bergelung dengan selimut kumal milikku satu-satunya. Aku menatap rumah-rumah dekil yang menghalangi pandanganku untuk melihat ujung gang. Rumah yang tambalannya kerdus ketika dinding bambunya bolong.
Aku mengawasi tulisan yang sudah kugoreskan beberapa menit yang lalu. Dengan menggunakan pensil patah yang sangat pendek pada kertas tua yang sudah menguning bekas terkena tetesan air hujan. Kertas ini pula yang kemarin menemaniku makan siang, makan pagi sebenarnya yang baru kudapatkan pada siang harinya. Tentu saja kertas itu alas makanku kemarin dari nasi berulam tempe dan sedikit kangkung yang ayah jejalkan pada tanganku sepulang dari menarik becak tuanya.
Namaku Wulan, aku tidak pernah sekolah. Aku bisa menulis karena seorang wanita baik hati bernama Bu Rina mengajariku bersama anak-anak lain dikampungku. Meski dengan tersendat-sendat karena kekuranganku. Kupandangi lagi tulisan tanganku yang mirip cakar ayam, morat-marit tidak karuan :
Untuk Ibu...
Hidup dalam keheningan itu memang sangat menyakitkan
Apalagi ketika lingkaran hitam itu semakin menciut
Merapat leher, mencekikku dalam ketidakberdayaan
Saat aku tahu kau bahkan meninggalkanku tanpa syarat
Menolak mengakui kehadiranku atas cintamu
Tak peduli kalau aku semakin menghilang
Didalam sumur kegelapan...
Kertas itu sudah lecek, dan aku menatapnya dengan sorot mata hampa. Aku tidak pernah merindukan sosok Ibu dalam hidupku. Aku tahu alasan aku tidak menangis ketika lahir adalah karena aku menolak menangisi Ibu. Karena aku tahu dia menjauhiku bahkan sejak aku melorot dari rahimnya. Aku tidak pernah merasakan belaian halusnya di kepalaku seperti umumnya seorang Ibu yang mengasihi anaknya. Yang jelas, lima hari setelah dia melahirkanku, dia meninggalkanku.
Bukan, dia tidak meninggalkanku karena meninggalkan dunia fana ini. Dia hanya tidak senang akan kehadiranku. Aku tidak tahu yang mana yang mendasari kebencian Ibu padaku. Apakah karena dia benci pada pernikahan paksanya dengan ayah akibat ‘kecelakaan’ ataukah karena aku tidak bisa bicara dan pincang dengan jari kaki 12. jari kakiku memang berjumlah duabelas, tidak seperti umumnya orang-orang. Mungkin itulah penyebab Ibu membenciku.
Lelaki yang kupanggil ayah – satu-satunya kata yang bisa kuucapkan meski dengan tidak jelas – saat ini memang bukan ayahku yang sebenarnya. dia hanya terlalu mencintai Ibu hingga rela menikahinya saat laki-laki yang menyebabkan aku hadir dirahim Ibu melarikan diri entah kemana.
Ibu tak pernah mencintai Ayah, rupanya dia masih mencintai laki-laki itu. Laki-laki pengecut tidak tahu diri yang melimpahkan tanggung jawab pada orang lain. Sebenarnya, entah siapa yang lebih tidak tau diri, laki-laki itu atau Ibu yang tak pernah menghargai Ayah. Sekalipun laki-laki itu adalah ayahku yang sebenarnya, aku tidak akan pernah mau mengakuinya. Aku menolak darah pengecut tidak tahu diri itu mengaliri nadiku. Dan karena Ibu pergi untuk mencarinya.
Aku tidak tahu kenapa, melihat betapa Ibu sangat mencintai laki-laki itu, kenapa dia menjauhkan dirinya dariku?
Jauh didalam hatiku, kebencianku pada mereka semakin menumpuk dari waktu-kewaktu. Sampai diusiaku yang 9 tahun. Dan setiap melihat ayahku mendorong becaknya dengan wajah lelah yang lebih tua dari usianya yang sebenarnya, kebencian itu terus menerus bertambah.
***
Sore itu, di hari yang berbeda. Aku kembali duduk didepan bingkai jendela kamarku yang sempit.
Krieeet... krieeett... kudengar suara itu memasuki rumah, menjadi pertanda kedatangan ayah. Aku keluar dari kamarku dan menemukan ayahku duduk bersandar pada dinding sambil memegangi keningnya. Ayah tampak berpikir, aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Yang jelas wajahnya terlihat sangat letih, dan tua... aku melangkahkan kaki mendekat padanya.
“A..ah...,” panggilku setelah sampai didekatnya. Ayah menatapku dengan pandangan kosong.
“A..ah...,” kataku lagi, karena hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku dengan latihan berbulan-bulan yang melelahkan. Ayah tak bereaksi, dia masih bersandar dengan wajah kosong. Aku ikut duduk bersimpuh disampingnya dengan pandangan mengawang.
Dan kemudian ayah mengelus kepalaku, “Kau rindu Ibumu?” tanyanya dengan wajah prihatin kepadaku. Aku menatap ayah, berusaha melihat apakah dia masih mencintai Ibu? Aku tidak menemukan apa-apa disana selain serpihan luka. Mungkin Ibu terlalu banyak menyakiti perasaannya.
Aku menggeleng kuat, aku tidak pernah merindukan Ibu. Mungkin karena aku tidak pernah melihatnya kecuali dulu dengan mata bayiku, dan aku tidak bisa mengingatnya kembali.
Ayah menatapku sembil tersenyum lantas mengelus kepalaku lagi. Kemudian dia bangkit dan mengambil kantung plastik yang terkait pada setir becaknya, Ayah mengangsurkannya padaku.
“Makanlah Wulan... maaf kalau Ayah tidak berguna. Ayah miskin, tidak mampu menyekolahkanmu. Memberi makanpun cuma dua kali sehari,” ayah membukakan bungkusan nasi itu dan mengambilkan sendok. Aku hanya menatapnya tanpa bangkit dari dudukku.
Tidak apa, Yah... bisik hatiku. Dia bahkan masih lebih baik ketimbang Ibu yang meninggalkanku selama seumur hidupku. Satu lagi alasan dalam pikiranku kenapa Ibu meninggalkan Ayah, karena ayah miskin. Mungkin Ibu tidak tahu kalau Ayah lebih kaya dari yang dia duga. Ayah kaya akan kasih sayang.
Aku menyuapkan nasi pecel dengan lauk kerupuk dan tahu pada mulutku dan ayah masih termenung sambil menatap dinding.
“A..aah,” aku menunjuk nasiku sambil memanggilnya.
“Ayah sudah makan tadi. Sudah... habiskanlah nasimu..,” jawab Ayah. Secara ajaib entah kenapa dia selalu bisa mengerti aku meskipun aku tidak dapat menyampaikan apa yang kumaksud.
Ayah termenung lama, keletihan dan keprihatinan hidup berbaur dalam wajahnya. Juga kesedihan yang nampak mengambang, membuat matanya berkaca-kaca.
Aku melepaskan sendok makanku dan beringsut mendekatinya.
Ada apa? Makannya kurang? Nanti ayah kerja lagi kalau kurang, ayah belikan kau nasi lagi,” tanya ayah. Aku menggeleng, menjawab pertanyaannya.
Aku hanya ingin berkata aku sayang ayah! Tapi yang keluar hanyalah udara, bibirku hanya mengatup-ngatup tanpa suara.
Maka aku memeluknya, tubuh tua itu. Ayah memang lebih tua duapuluh tahun saat menikah dengan Ibu.
Aku merasa ada yang jatuh dipunggungku saat dia balas memelukku, air mata ayah. Aku tidak pernah melihat Ayah menangis sebelumnya, dan sekarang dia melakukannya.
“Ibumu datang, Wulan. Dia akan datang mengambilmu dari ayah. Rupanya dia sudah hidup lebih layak dari Ayah. Ayah tidak peduli pada kedatangannya, yang jelas ayah tidak mau dia menggambilmu. Dia sudah mengabaikan dan melupakanmu begitu lama dan dengan enaknya dia sekarang akan mengambilmu. Ayah tidak rela!”
“A...ah!” aku menangis juga mendengarnya. Aku benci Ibu! Aku benci Ibu!
“Sekalipun kau bukan anak ayah, ayah tak pernah menganggapmu orang lain,” kata Ayah lagi. Dan aku semakin mengeratkan pelukanku.
Entah bagaimana rupa wanita yang telah melahirkanku itu, tapi aku telah membencinya lama sebelum aku menyadari kenapa aku membencinya.
***
Diluar, hujan turun begitu dahsyat. Petir menyambar-nyambar dengan hebat. Sore yang petang membayang, Ayah belum pulang.
Aku menatap apa yang ada diluar rumah dari bingkai jendelaku lagi. Jendela yang tidak pernah kubuka karena tuanya, aku takut akan lepas dari engselnya.
TOK! TOK! TOK!
Ketukan dipintu terdengar begitu keras dan terburu. Aku mengalihkan pandanganku dari jendela. Entah siapa yang berada diluar rumah. Tidak mungkin Ayah, dia selalu membuka pintu sendiri dengan bunyi krieet... krieet becak tuanya.
Aku berjalan mendekati pintu depan rumahku. Dengan pikiran yang berseliweran dikepalaku aku membuka pintu. Petir menyambar hebat dan kulihat lekuk tubuh wanita diluar sana.
“Aaa...,” kataku, berusaha bertanya siapa dia. Tapi wanita itu sepertinya tidak mengerti, dia malah melangkah masuk begitu saja sebelum aku mempersilakannya terlebih dahulu.
Dalam penerangan lampu minyak tanah, jelaslah bagaimana penampilan wanita itu. Dia berdiri dengan sepatu kulit hak tinggi dan gaun mini bunga-bunga murahan dengan warna yang sangat mencolok. Rambutnya bergelombang dan menjuntai sampai pinggulnya. Wajahnya padat oleh make up tebal yang luntur terkena hujan diluar. Dia tampak kebasahan tapi tidak terlalu terganggu karenanya, kecuali pada make upnya yang luntur.
“Kau Wulan?” tanyanya dengan nada datar. Aku mengangguk, apalagi yang kubisa selain mengangguk?
“Aku Ibumu,” katanya seenteng kapas. Aku lantas tercekat, ini dia Ibuku? Wanita yang melahirkan dan meninggalkanku tanpa pesan.
Pandanganku berubah padanya, dari penuh tanya menjadi acuh.
Wanita itu duduk dan melonjorkan kakinya pada kursi rotan reyot didekatnya. “Rumah ini masih saja begitu tua, sama seperti saat aku meninggalkannya. Suami yang tua, rumah yang tua... semua serba tua. Hahaha,” dia mengeluarkan gulungan kecil warna putih dari tasnya dan menyulutnya dengan korek api.
Aku masih berdiri menatapnya, “aa.. ii!”
Aku ingin berteriak kalau dia sebaiknya pergi!
Wanita itu mengisap rokoknya dengan satu sedotan keras dan menghembuskan nafasnya diudara, setelah itu membuang putungnya begitu saja dilantai. Dia mengotori rumahku saja!
Wanita itu kemudian menatapku dengan alis berkerut, “Kau sudah besar rupanya sekarang ya?” dia memperhatikan juga ternyata.
“Sekarang kau ikut denganku ya?” wanita itu mencekal tanganku dan menariknya. Benar kata ayah, dia ingin membewaku pergi. Tapi, tarikannya sama sekali tidak penuh kasih sayang... begitu kasar! Aku tidak yakin dia sudah mencintaiku sekarang. Kenyataannya aku tetap tidak merasakan cinta dari uluran tangannya! Aku berusaha menarik tanganku kembali sekuat tenaga dan dia terjatuh mengingat betapa licinnya lantai dan betapa tinggi sepatunya.
“Aduh! Kenapa kau membuatku jatuh?” tanyanya sambil bersimpuh dilantai rumah. Aku menatapnya dan panggilan Ibu memenuhi hatiku. Sejujurnya, jauh didalam hatiku aku ingin dia memelukku, sekali saja. Betapapun benci aku padanya, maka aku mendekati wanita itu. Berharap dia memelukku atau apa tapi dia bergeming.
“Mau apa kau?” tanyanya terkejut karena aku mendekatinya. Aku yakin telah menatapnya dengan pandangan penuh harap. Aku ingin Ibu memelukku! Kataku dalam hati. Tapi dia malah menatapku dengan sudut mata curiga.
Aku mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri, dia dengan ragu menyambut dan berdiri.
“Kau anak baik,” dia mengulurkan tangan untuk menyentuh kepalaku. Dingin. Itu yang kurasa. Aku semakin yakin dia tak pernah menyayangiku. Maka keinginan gila untuk memeluknya lenyap, dan aku mulai bertanya-tanya apa alasannya datang kembali dalam kehidupanku.
BRAK! Aku mendengar suara pintu dibuka dengan keras. Ayah.
“Untuk apa kau datang kemari?” tanya Ayah sambil mendekatiku dan menarikku dekat dengannya.
“Aku Ibunya, apa aku tidak boleh mengambil anakku sendiri?” tanya wanita yang adalah Ibuku itu.
Ayah mengerutkan bibir dengan jijik, “Untuk kau peras sebagai sumber uang? Tidak!” sentak Ayah.
“Tidak... aku hanya akan membantunya memperoleh cara hidup layak, tidak miskin sepertimu,” Ibu berkata tenang.
“Oh ya? Bukan untuk pertambahan satu lagi calon pelacur di rumah bordil yang kau bangga-banggakan sebagai pabrik uang itu?” tanya Ayah marah.
Aku belum pernah melihat Ayah semarah itu.
“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya Ibu. Aku terbelalak. Aku tahu Ibu tidak sayang padaku tapi aku tidak pernah menduga sampai separah itu dia tidak pernah mencintaiku.
“Tidak boleh! Aku yang mengurusnya demikian lama lantas kau akan menggunakan dia untuk menghasilkan uang bagi dirimu? Enyah kau! Pergi dari sini!” ayah berteriak marah.
“Tapi...ta...” Ibu tampak gelagapan.
“PERGIIIIIIIIII!!!!!!”
“B...baik...” kata Ibu, berusaha mengusai diri.
“Baik, aku akan pergi... tapi...” dia berjalan mendekatiku dengan gaya lamban.
“Kau cantik, nak! Sama seperti aku karena kau anakku. Sayang, si tua yang tolol ini tidak tau bagaimana cara memanfaatkan kecantikanmu,” kata Ibu sambil melenggang keluar pintu rumah.
Aku mendongak menatap Ayah ketika punggung wanita itu sudah menghilang ditelan malam dikelokan jalan. Ayah balas menatapku sendu.
Sempai kapanpun kalau ada orang yang mengatakan kasih Ibu sepanjang jalan dan kasih ayah sepanjang galah, aku tidak akan pernah percaya...
**TAMAT**

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Previous Page Home