Saturday, June 11, 2011

#11


Ini namanya laporan.... Sudah selesai, wes mari, finish! Akhirnya saya ngga lupa mengambil jilidan ini dari tempat jilid dan menyelesaikan proses tandatangan serta bla blanya yang lain. Anggap saja buku kedua yang saya tulis personal hehe ah sebuah penghindaran kenyataan betapa saya tidak produktif dalam urusan tulis menulis.

Setiap ke kampus belakangan ini saya merasakan sesuatu. Lama... lama saya belajar disitu, sudah tiga setengah tahun. Mendadak merasa tua, setiap hari bertapa di ruang baca mencari wangsit untuk skripsi saya, harus saya apakan... saya sempat ganti judul kemarin karena kesulitan data yang objek penelitian saya cuma mau ngasih sedikit, ngga detail... merambah topik yang lebih mudah diteliti tetapi justru tidak saya sukai. Akibatnya... pusing-pusing dan segala macamnya. Segala yang kita hindari entah kenapa malah ngga mau jauh-jauh, begitu pula saya dan topik itu. Kemarin saya meminta saran dari seorang teman pencinta sang 'topik' mengenai draft saya, dia membalas via email dan yang saya lakukan cuma bengong. Saya baca berkali-kali karena terbaca seperti bahasa alien. Dia memang pintar dan otak saya yang pas-pasan ngga sanggup menerima transferan sarannya. Mumet. Baru entah setelah membaca berapa kali saya baru paham maksudnya..

Oh ternyata, benar ngga maksud kamu seperti yang aku pikir?
Saya uraikan makna yang saya tangkap dan saya kirim balik ke si teman. Kuatir saya salah cerna. Dan sekarang sudah menginjak halaman ke tiga puluh, semoga saya ngga perlu ganti judul lagi, jangan sampai revisi besar-besaran juga. Ah!

Setiap harinya saya melewati aneka kegiatan mahasiswa-mahasiswa semester awal (jangan tanya apa saja, saya ngga tahu menahu), melihat arus lulus dan mahasiswa baru kemudian masuk. Kemarin saya sempat bertemu teman satu organisasi dulu sewaktu semester awal saya masih semangat ikut kegiatan-kegiatan, "Loh kamu aku pikir sudah lulus?" dia nanya, dia ternyata termasuk manusia yang ngga nyadar saya pernah lenyap satu semester dari kampus. Duh padahal kan saya masih semester tujuh ketika manusia angkatan saya semester delapan. Menohok. Saya jadi gimanaaa gitu. Lepas dari itu saya merasa sudah begitu lama jadi mahasiswa. Dan saya enggan membayar SPP strata satu untuk semester depan. Saya harus lulus semester ini.

Saya ingat ketika masa-masa awal saya menjejak kampus. Daftar ulang yang membingungkan. Belum sepuluh menit saya masuk kampus, sudah nyasar kemana-mana... sudah begitu juga ada syarat pendaftaran yang tertinggal di rumah saya diluar kota, panik... dan untunglah bisa di fax keesokan harinya.

Angkatan saya adalah angkatan pertama diberlakukannya SPP proporsional, dimana jumlah SPP yang dibebankan pada mahasiswa tergantung pada jumlah pengeluaran di rumah, gaji orang tua, pekerjaan orang tua, jumlah saudara dan jalur masuk.. Jalur masuk dibedakan menjadi reguler dan khusus. Ada range SPP reguler, dan range SPP jalur khusus tentu saja diatas reguler.
Tetap mahal sih. Otonomi kampus, mungkinkah yang membuat biaya kuliah semakin melangit dari waktu ke waktu?
Pihak kampus menyampaikan, kami bisa meminta keringanan.

Saya ingat gedung di kampus saat itu ramai sekali penuh dengan orang-orang yang meminta keringanan. Saya juga. Jumlah SPP saya sudah masuk range SPP jalur masuk khusus (jalur tes yang diadakan kampus setelah hasil SPMB diumumkan). Banyak sekali orang-orang tua yang datang berjejalan beserta anak-anak mereka, atau yang datang 'ngucluk' sendirian seperti saya. Kebingungan khas mahasiswa baru, hehe... jalan nekat meskipun ngga ngerti apa-apa, atau mana-mana.

Disebelah saya, seorang wanita menegur, "Maba, ngurus keringanan?" dia menyapa.
"Eh iya mbak... mbak juga?"
"Bukan buat adikku,"
Ah enak ya ada yang ngurusin, dari pagi tadi kaki saya capek ngantri.. mana lapar belum makan, "jurusan apa?" dia bertanya lagi. Saya menjawab kemudian, dia membelalak, "Wah sama dong kayak adikku,"
Dia mengecek ulang dokumen-dokumen yang dia bawa kemudian, "Ini udah bawa semua keterangan tidak mampu bla..bla..bla... yah semoga aja diberi keringanan beneran,"
"Iya mbak... mm jalur masuknya lewat ujian apa memang?" iseng-iseng saya nanya.
"Oh ya jalur khusus sih, SPPnya gede banget... semoga dapat keringanan dari pihak kampus,"
Saya bengong.
Untuk masuk fakultas saya, mahasiswa yang diterima melalui jalur khusus uang masuknya mahal... nyaris tiga kali lipat jalur reguler.
Nah kalau jelas-jelas mampu membayar uang yang jumlahnya sebesar itu untuk masuk kuliah, kenapa mengaku ngga mampu untuk membayar SPPnya?
Beneran ngga mampu atau berusaha terlihat ngga mampu? Hm jadi berpikiran macam-macam deh saya... negatif pula...
Lagi-lagi saya ngga mengerti....



tengah malam, grundelan ngaco dan ngga sinkron menjelang tidur seorang mahasiswa skripsi

No comments:

Previous Page Next Page Home