Friday, March 20, 2009

SURAT SEMBILAN - a short story by anindya rahadi

Panggil aku Ilan. Sembilan. Nama yang penuh kepedihan dan keberuntungan. Saat musim semi berubah warna dan membungkusku dalam perasaan dingin yang belum terhilangkan.... aku mengingat masa-masa dibawah hujan.
Saat aku menunggumu. Saat hujan begitu deras dan mengurungku dalam terali airnya. Mencampur tangisku dengan rinainya... aku menunggumu.
Aku menunggumu dalam kepedihan yang seolah tak pernah berujung. Menunggumu dan tak pernah tau akan keeksistansimu dalam bagian belahan dunia manapun. Menunggumu yang mungkin saat ini berada diujung dunia. Dan aku tak bisa pergi. Tak bisa sembunyi. Tak bisa berlari. Dan payung ini tertiup jauh oleh angin kencang. Andaikan dukaku juga bisa tertiup jauh olehnya....
###
Sejak penantian tanpa ujung itu.... aku punya sebongkah es yang terdiam entah dimana dipelosok misterius yang dinamakan hati. Aku tak mengerti dia ada disana sejak kapan. Yang kutahu kamu telah membiarkan aku berada dalam pyramid kesakithatian. Dengan tak terselesaikannya janji, tak terwujudnya kata... saat itu aku mulai mempunyai bongkahan es yang memakamkan semua penantianku. Yang dari hari-kehari terselimut debu kebencian yang semakin menebal. Terus menebal dari waktu ke waktu. Untukmu....
Aku benci mengakuimu pernah ada dalam kehidupanku, dan dalam kehidupan ini. Kebencian itu semakin membesar. Seperti gundukan salju saat musim dingin yang tak pernah mencair seiring berjalannya musim semi. Kalaupun saat ini kau akan muncul..., aku tak ingin lagi melihatmu dengan kedua mata yang terpasang dirongga wajahku. Tak ingin lagi mendengar suaramu dengan kedua telinga yang terpasan disisi kepalaku. Tak mau menangkap wangimu dengan hidung diujung wajahku.
Tau apa sebab kau tak pernah kembali, aku tau apa sebab kau ditelan bumi. Dan kau mengira aku percaya kau hilang karena matahari pergi. Dan karena hujan hadir, tak mau menyisakan rekahan tanah kering meskipun sejengkal.
Aku benci kau, meski tak pernah terucapkan dengan lisan. Karena aku tak mau lisanku terluka. Karena aku tak mau tau apapun yang terjadi padamu lagi. Apakah kau masih menginjakkan kaki di bumi, ataukah kau hilang bersama pusaran udara. Aku tak ingin lagi peduli. Karena kau telah membiarkanku dalam kesakitan menunggumu. Sendirian, dibawah hujan... dengan hati giris dan terluka. Karena aku tau kau tak pernah peduli.
###
Panggil aku Ilan. Yang tak lagi akan terpengaruh akan kelembutan katamu. Panggil aku Ilan, Sembilan. Saat kau kembali dan kuacuhkan, karena kau datang dengan senyuman di tanggal sembilan belas dan pergi pada bulan kesembilan.
Panggil aku Ilan saat kau kuberitau apa rasanya berada dibawah hujan. Dalam penantian tanpa waktu yang tak kauacuhkan. Karena kau tak pernah tau, tak pernah peduli bagaimana, berapa lama dan apa rasanya menunggu. Kau hanya tau memilih dan mendapat. Lain, tidak.
Dan sekarang..., panggil aku Ilan saat waktu ini akhirnya tiba. Kau sampai dihadapanku dengan senyum itu lagi. Sungguh, saat ini aku rapat menutup mata. Kau sudah menimbulkan bongkahan es itu, sudah menambahkan seribu kebencian itu. Sudah mengoleskan air garam pada serpihan luka. Harusnya kau tau meskipun tanpa lisan, aku tak mengharapkan kedatanganmu. Tak pernah lagi. Sejak musim semi berubah warna.
Harusnya kau tau wajahku sudah menegang, ingin berteriak dengan penuh kebencian bahwa aku membencimu. Seribu tahun. Dan sudah begitu banyaknya rasa benci itu sampai aku tak sempat menghitung tumpukannya. Tapi aku tak mau melukai lisanku.
Panggil aku Ilan, jangan Bunga... karena aku adalah Sembilan Bunga Indah. Bunga seorang yang terlalu rapuh padamu. Berbeda dengan Ilan. Yang dengan tegas menolak kesempatan untuk bersamamu. Karena cintamu melukai. Karena kau merusak penantian ini.
Karena kau tak bisa menghargai. Karena kau tak pernah tau dan tak ingin tau. Karena kau layak untuk ditinggalkan. Karena aku sudah menganggapmu tak pernah ada.
Kau sekarang telah berwujud gelap dan abstrak. Kau yang sebenarnya berada dalam masa lalu yang enggan kutengok, yang enggan kubuka dan kuteliti. Dan aku tak mau menyimpan satu saja memorimu dalam kenanganku yang berharga.
Aku membencimu Bintang.... detik ini. Saat ini. Meskipun kau tak akan pernah tau. Karena jiwamu terlalu terhiasi ketidaktahuan. Dan saat ini bukan kau yang meninggalkanku. Tapi aku, yang meninggalkanmu dalam kekecewaan. Dan kemenangan padaku.
###TAMAT###
Catatat penulis untuk pembaca :
- sembilan sengaja dipilih sebagain nama karena diyakini sebagai angka keberuntungan.
- semua kritik dan saran atas semua cerpen saya yang pernah anda baca, harap dikirimkan via email di nindarahadi@yahoo.com. Terima kasih.

2 comments:

  1. Halo mbak anin, aq liat profil kamu di kompasiana, n akhirnya nyampe juga deh ke blog ini, salam knal ya mbak.....

    ReplyDelete
  2. iya Ilan hihihihi.. aku juga membencimu karena kamu tak lagi mengajakku ngalong hahahhaha *peace Nindaa :P

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Previous Page Next Page Home