Wednesday, February 23, 2011

VEIL : RETHINKING

image from here


Sabtu malam itu, di penghujung tahun 2010, keluarga kami sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan terkenal di  selatan Jakarta. Duduk manis menunggu pesanan sushi kegemaran anak-anak, tiba-tiba mata kami tertumbuk pada sekelompok perempuan muda berjilbab yang berdiri, posing tepatnya, di depan restoran tempat kami berada, seolah sedang merapatkan sesuatu.  Tak lama kemudian mereka memutuskan untuk masuk ke restoran yang sama dengan kami.

Tak butuh lama untuk menyadari bahwa kami bukan satu-satunya yang terpana dengan kehadiran mereka. Beberapa pasang mata pengunjung di restoran seberang kami pun demikian. Ada sesuatu yang sangat menarik dari keenam perempuan muda yang baru datang itu: mereka semuanya cantik-cantik, berjilbab unik, dengan dandanan yang luar biasa menarik. Gaya berbusana mereka—baju, kerudung, tas, sepatu hingga make-up—benar-benar mencerminkan selera, ketelitian dan tentunya uang yang banyak untuk membelinya.

Penasaran? Saya bukan pengamat mode, tapi biar saya coba menjelaskannya semampu saya.  Model pakaian yang mereka kenakan tidak konvensional seperti blus panjang plus celana, atau gamis. Pakaian mereka sebagian besar memiliki siluet asimetris, rok lebar model gypsi, atau celana lebar dengan ujung menyempit. Juga sweater panjang dengan penutup kepala yang membuat pemakainya tampak sangat gaya. Warna-warnanya jauh dari norak: bernuansa pastel dan warna-warna tanah yang memang selalu up to date. Kerudungnya model ciput Arab dengan kain lebar sebagai jilbab, menonjolkan keindahan siluet wajah yang dipulas warna-warna lembut, sangat serasi dengan pakaian yang mereka kenakan. Pokoknya, masih untung saya tidak lupa menutup mulut yang, kalau tidak, pasti akan ternganga dengan tidak sopannya saking takjubnya. Sangat cantik. High-heels yang sangat trendy melengkapi penampilan mereka. Striking, breathtaking, awesome, splendid, gorgeous, stunning, elegant, stylish, fashionable young women ....

Yang lebih membuat saya terperangah kemudian adalah penjelasan dari kakak saya, bahwa sekarang ini di berbagai kota besar menjamur kursus-kursus penampilan yang khusus diperuntukkan bagi kalangan muslimah. Ia lalu menunjukkan wall facebook-nya yang dihiasi ajakan untuk kursus jilbab dan kecantikan untuk muslimah. Cukup ramai juga yang menyahuti ajakan tersebut, yang menarik “infak” beberapa ratus ribu rupiah untuk satu jenis kursus.  Rupanya bukan hanya salon kecantikan dan fitness (termasuk kolam renang) khusus perempuan yang dipersembahkan bagi kaum muslimah modern yang ingin tetap tampil cantik, menarik, modern, dan tentunya tidak kumus-kumus alias dekil “hanya” karena ingin menjalankan perintah agama, tapi juga kursus penampilan.

Namun hampir seketika itu saya merasa ada sesuatu yang mengganggu benak saya. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, hingga saya putuskan untuk membongkar rak buku saya, menjenguk kembali Beauty Myth-nya Naomi Wolf yang sudah 17 tahun menjadi penghuni di sana, untuk membantu saya memahami apa yang selama beberapa bulan belakangan mengeram di otak ini. Tapi sebelumnya, saya ingin katakan bahwa saya sama sekali tak bermaksud sinis menanggapi fenomena yang saya lihat itu. Sama sekali  tidak. Saya hanya ingin berbagi mengenai sebuah cara pandang yang lain, yang belum tentu juga diterima oleh kawan-kawan terdekat saya sekalipun, mengenai fenomena ini.

Beauty Myth

Entah sudah berapa kali kita mendengar ungkapan bahwa “kecantikan hanya sebatas kulit,” atau “kecantikan batin (inner beauty) adalah kecantikan yang sesungguhnya.” Tapi nyatanya kita juga terus-menerus melihat bukti bahwa ungkapan-ungkapan itu tidak benar-benar “laku” di pasaran. Memangnya berapa banyak orang yang mau buang-buang waktu untuk menilai kepribadian seseorang di balik “kulit” yang lebih dulu terlihat? Memangnya seberapa kita sering menilai kemampuan seorang perempuan lebih dulu, dan baru kemudian wajahnya dan penampilannya? Please be honest. Penampilan luar adalah pintu yang kita nilai sebelum kita mengenali isi. Dengan kata lain, petatah-petitih itu hanya berlaku di dunia ideal. Dunia nyata yang kita huni punya logikanya sendiri.

Dalam note saya terdahulu saya sudah mengutipkan betapa perempuan yang berpenampilan menarik lebih diuntungkan dari rekan mereka yang kurang menarik (termasuk kurang langsing atau kurang berisi, kurang putih, dan kurang  cantik). Saya kutipkan sekali lagi di sini:

Bukan tanpa alasan kalau kecantikan yang disertai dengan tubuh langsing, juga  kulit putih, menjadi mimpi banyak perempuan. Ketiganya—kecantikan, tubuh langsing, dan kulit putih itu—terbukti bisa menjadi paspor bagi sukses dalam karir dan kehidupan pribadi (bukankah itu pesan paling menonjol dalam produk-produk kecantikan di televisi?) Ketiganya juga dianggap bergandengan tangan erat dengan aneka hak istimewa,  status tinggi dan berbagai keuntungan yang bisa dipetik dari pergaulan sosial, termasuk jodoh terbaik. lebih asyik lagi, mereka yang dianugerahi ketiganya, juga dianggap lebih cerdas, berperilaku baik, dan menyenangkan (Dion, Berscheid, dan Walster 1972; Landy dan Sigall 1974; Webster dan Driskell 1983). Ketiganya menciptakan semacam efek halo yang menandakan kehadiran orang-orang suci yang diberkati, kepada para perempuan berpenampilan bagus.


Mitos kecantikan, seperti diterangkan dalam sub-judul buku Naomi Wolf ini, menunjukkan bagaimana citra kecantikan dengan sangat efektif telah digunakan untuk melawan perempuan sendiri. Dalam bukunya yang pertama kali terbit tahun 1991 ini—dan segera menjadi salah satu literatur klasik dalam kajian feminism—Naomi secara runtut menjabarkan argumennya.

Dengan mengambil setting negara maju, Naomi menunjukkan betapa pada dekade ’80-an perempuan sudah mencapai posisi sosial-politik yang setengah mati diidamkan kalangan suffragist awal yang menuntut hak suara atau hak politik bagi kaum perempuan. Namun diam-diam, bersamaan dengan kesuksesan kaum feminis awal tersebut, penderita kelainan pola makan (eating disorders) juga mengalami peningkatan sangat tajam, sementara bedah kosmetik menjadi spesialisasi medis yang paling cepat perkembangannya. Menjelang akhir dekade itu juga konsumsi barang-barang meningkat sangat pesat, pornografi tumbuh menjadi salah satu kategori utama di industri media (perkembangannya bahkan melampaui penjualan film dan rekaman lainnya dijadikan satu), dan—klaim Naomi—ada lebih dari 32.000 perempuan Amerika yang mengaku pada peneliti bahwa impian paling besar mereka, lebih dari apapun, adalah menghilangkan 5-10 kilogram berat badannya.

Perempuan kini memiliki kekuasaan, pengaruh, legalitas dan kesetaraan di depan hukum (*oke, oke, masih banyak masalah di sini, tapi jalan menuju kesetaraan ini sudah terbuka cukup lebar kan? tinggal masalah political will saja yang belum kuat*). Namun dari segi kekhawatiran akan penampilan fisik perempuan modern mengalami kemunduran yang sangat kentara. Dengan kata lain, menurut Naomi, di balik kesan tegar, percaya diri, memegang kendali, sukses, menarik, tersembunyi wajah rahasia yang menggambarkan hal yang sebaliknya: pembenci diri sendiri, terobsesi oleh penampilan fisik, terteror oleh usia, dan kemampuan kontrol yang rapuh (jika menyangkut soal fisik). Wajah rahasia inilah yang hampir tidak dimiliki oleh perempuan-perempuan dari generasi di atasnya.

Tak bisa disangkal bahwa kualitas kecantikan memang ada, objektif. Sejak zaman dahulu, lelaki memperebutkan perempuan yang lebih menarik karena asosiasinya dengan kesuburan. Bentuk tubuh dan wajah yang cantik—tolong diingat bahwa definisi indah dan cantik selalu berubah dari zaman ke zaman, dan berbeda dari masyarakat satu ke masyarakat yang lain—adalah “jaminan” bahwa seorang perempuan mampu mengemban tugas-tugas reproduksinya dengan baik. Karena kaitannya yang erat dengan seksualitas dan reproduksi, kualitas-kualitas ini menjadi sesuatu yang tak bisa disanggah keberadaannya, hampir-hampir tak bisa diubah. Untuk menjalankan fungsi reproduksinya, perempuan harus bersaing mendapatkan perhatian laki-laki.

Namun inilah yang benar-benar “dimainkan” oleh patriarkisme yang berjalin berkelindan dengan kapitalisme industri. Sebelum revolusi industri, menurut Naomi, perempuan mempunyai definisi yang relatif “merdeka” mengenai kecantikan. Belum berkembangnya produksi massal membuat perempuan generasi ini tidak terlalu digelisahkan dengan standar kecantikan tertentu. Tapi teknologi terus berkembang, termasuk teknologi media dan produksi massal. Sebagai akibatnya, citra kecantikan perempuan bukan hanya mengalami standardisasi, tapi juga diproduksi dan reproduksi terus-menerus. Naluri perempuan—yang sudah mulai menggenggam kontrol atas sumber daya—untuk tampil menarik dieksploitasi sedemikian rupa, memaksa mereka measure up, menyesuaikan diri dengan citra yang dianggap paling mutakhir, modern, dan tentunya paling memenuhi selera pasar. Apakah mengherankan jika sekarang kita melihat cara berpakaian gadis-gadis di Jakarta sama dengan mereka yang tinggal di New York, London, hingga Garut dan Padang Sidempuan? Televisi, majalah wanita, hingga model-model iklan menampilkan tidak hanya keseragaman, tapi juga menularkan ketakutan-ketakutan yang sama jika seorang perempuan tak mengikuti model terakhir, tidak modern. Mitos-mitos kecantikan dengan sukses mengalahkan—di masyarakat kita setidaknya menyamai—citra domestik, keibuan, pasif, kesucian, yang tergusur oleh keberhasilan perempuan di ranah politik dan ekonomi yang sudah saya sebutkan sebelumnya.

Mitos kecantikan yang dikukuhkan saban hari melalui berbagai media, menurut Naomi, adalah sebuah cara politis untuk kembali menundukkan perempuan yang baru berhasil meraih kemerdekaan politik dan ekonominya. Mitos kecantikan, dengan kata lain, adalah sesuatu yang politis, yang dipakai untuk mengabadikan sistem patriarkal dan dominasi maskulin dengan cara memainkan kekhawatiran perempuan mengenai penampilan fisiknya. Kecantikan perempuan yang didefinisikan oleh super kekuatan ekonomi yang berada di luar individu perempuan  tidak hanya memisahkan secara diametral perempuan muda (yang dalam pandangan Naomi mewakili citra kenaifan, keluguan hingga sampai taraf tertentu keperawanan, dan karenanya cantik) dengan perempuan dewasa (yang mewakili citra kekuasaan, kontrol, dan karenanya “tidak cantik”). Lebih dari itu kecantikan yang didefinisikan membuat perempuan menjadi rapuh. Begitu gagal mengikuti standard kecantikan dan kemodernan, citra diri perempuan menjadi diragukan bahkan oleh si individu yang bersangkutan.

Perlawanan terhadap perempuan modern ini begitu subtle. Tak mudah menyadarinya. Para pendahulu kita, perempuan-perempuan pahlawan nasional kita, punya musuh yang jelas ketika memerangi para penjajah yang menindas bangsa, juga memerangi keterbelakangan perempuan dalam bidang pendidikan. Para feminis generasi awal pun punya motif kuat untuk turun ke jalan dan mendesakkan hak memilih bagi perempuan. Namun sekarang, seperti kata Naomi, kita seolah tak punya cukup alasan untuk “membanting sebuah pintu” dan berkata TIDAK. Maka yang kita perlukan adalah sebuah cara pandang baru, kritisisme baru.

Jilbab

Teori mitos kecantikan Naomi Wolf, setuju atau tidak terserah, turut membentuk pemahaman saya mengenai jilbab, ketika saya memutuskan untuk mengenakannya pada tahun 1987. Jilbab bukan semata sebentuk kewajiban bagi perempuan muslim. Ia adalah bagian dari eksistensi seorang muslimah, menurut istilah adik ipar Rizvan Khan dalam film My Name Is Khan. Ada yang harus ia representasikan di luar fungsinya sebagai penutup aurat.

Jilbab, buat saya, mestinya menjadi sebuah perlawanan kultural dari sebuah gerakan yang menghinakan tubuh perempuan. Tapi jilbab juga mestinya menjadi sebuah konter religius dari eksploitasi kaum kapitalis yang mengeruk keuntungan dengan cara merampas kenyamanan perempuan yang melalui cara-cara yang brutal, antara lain  dengan menakut-nakutin perempuan mengenai fenomena penuaan (keriput, kulit kering, noda kehitaman di wajah) yang sebetulnya pasti terjadi. Omong-omong, saya termasuk orang yang percaya bahwa ‘setiap musim membawa keindahannya masing-masing. Dengan kata lain, jilbab adalah simbol perlawanan dari ekploitasi terhadap perempuan, yang dilakukan oleh mereka yang berpura-pura ingin “menyelamatkan” perempuan, namun sebenarnya mengeruk keuntungan sangat besar dari subyek mereka. Karena itu, dalam pemikiran sederhana saya, jilbab harusnya menunjukkan modesti, kebersahajaan dan kepantasan, termasuk kepantasan sosial.

Saya teringat pada sebuah pertanyaan dari senior saya, Bang Ade Armando, di suatu hari bulan Ramadhan, dulu sekali, ketika kami masih berkantor di Buncit Raya nomor 37: “Kalau kamu sholat Ied di lapangan dan memakai mukena berharga jutaan rupiah sementara di sebelah kamu adalah orang yang mungkin harus berpuasa juga di luar bulan ramadhan, sholat kamu sah apa nggak?” Knowing him, pertanyaan itu membuat saya terdiam.

Jilbab, untuk saya, adalah sebuah pintu masuk yang disediakan Tuhan menuju ke pemahaman yang lebih dalam dan tajam ketimbang hanya selembar kain penutup kepala. Jilbab adalah sikap. Ia tidak final, tidak selesai hanya dengan tertutupnya hela-helai rambut di kepala saya. Jilbab adalah sebuah awal dari proses panjang untuk menjadi sesuatu. Di sinilah saya merasa jilbab menemukan personalitasnya. Nabi yang mulia pernah bersabda, “Tidak ada agama tanpa akal”. Maka biarkan saya menggunakan akal saya untuk memaknai perintah yang satu ini (dan perintah-perintah wajib lainnya dalam agama Islam yang saya anut). Itu saja.

Ninda says :
Posting di atas adalah REPOST ulang dari sebuah notes yang ditulis seorang wanita bernama indah : Nurul Agustina yang bisa ditemui profilnya dalam situs jejaring sosial dengan mengklik nama bertautannya. Saya tersentak membaca notes ini yang seolah godam menghantam kepala.

Jilbab dan kerudung (dua hal ini berbeda makna ya, jadi saya memberikan kata penghubung 'dan') semestinya adalah pelindung muslimah dari isu-isu kecantikan yang membentuk stereotype tertentu. Seperti halnya standar kecantikan yang umum kita jumpai saat ini di Indonesia bahwa wanita yang cantik itu yang kulitnya halus dan putih, tinggi, langsing... banyak orang memilikinya sebagai bawaan lahir... kecantikan genetik, tapi tidak sedikit juga yang memperolehnya dari beragam permak seperti yang biasa dilakukan public figure di Korea. 

Kita jadi kehilangan parameter-parameter cantik yang unik seperti halnya salah satu suku dayak yang mengakui seorang wanita cantik dari seberapa panjang telinganya atau seberapa panjang lehernya. Lepas dari itu, menurut saya segalanya berawal dari standar cantik Mattel agar produknya yaitu Barbie laku di pasaran. Saya pikir kita semua sudah cukup dewasa untuk tidak bermain Barbie apalagi termakan paradigma yang mereka bentuk. Sangat penting untuk menjadi sehat... tapi setiap wanita terlahir dengan kecantikan unik masing-masing.. tidak adil jika disamaratakan dalam sebuah standar. 

Wanita yang paling cantik adalah wanita yang paling bisa membuat cemburu para bidadari. Maka labuhkanlah kerudungmu menutupi dadamu, kawan... apa sebegitu sulitnya melakukan yang demikian? Kalimat setiap orang butuh waktu dan setiap orang berbeda menyikapi ini adalah sejenis penolakan yang terselubung, sebenarnya.. menolak lugas juga ragu karena tidak ada pembenaran, mengiyakan juga ngga siap.

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka.” (QS. an-Nur:31)

23 comments:

  1. Subhanallah.. aku belajar banyak dari artikel ini, memotivasiku untuk berbuat lebih baik.

    ReplyDelete
  2. kebetulan saya sukanya sama cewek2 yang berjilbab hehe entah kenapa.. mudah2an ntar saya dapet istri yang elalu menutup auratnya, amiinn

    ReplyDelete
  3. buat saya mengenakan kerudung ataupun jilbab merupakan nilai tambah bagi wanita .. :D

    ReplyDelete
  4. ternyata dengan memakai jilbab, wanita masih bisa tampil modis
    info menarik nih

    ReplyDelete
  5. ini khusus untuk wanita
    saya tidak mengerti
    he he
    tulisan ini wajib dibaca oleh cewek-cewek

    ReplyDelete
  6. rata2 iklan di tivi memang mengusung cantik = kulit putih, langsing, hadeuhhhh menyesatkan sekali

    ReplyDelete
  7. "Jilbab, buat saya, mestinya menjadi sebuah perlawanan kultural dari sebuah gerakan yang menghinakan tubuh perempuan. Tapi jilbab juga mestinya menjadi sebuah konter religius dari eksploitasi kaum kapitalis yang mengeruk keuntungan dengan cara merampas kenyamanan perempuan yang melalui cara-cara yang brutal..."

    nice thought...

    makasih ya Nyin udah sharing...
    membuatku bener2 rethinking...
    moga dibaca juga ama seluruh muslimah :)

    ReplyDelete
  8. SubhanAllah! keren bgd, memberikan banyak pelajaran khususnya bagi perempuan yang berjilbab. G naif juga, saya masih mementingkan penampilan luar, tapi kalau harus diet mati2an, operasi, pake obat ini obat itu biar dikatain cantik, males banget. hehehe
    We should be grateful of what we have because you are beautiful just the way you are. :)

    ReplyDelete
  9. subhanallah..iya emang bener mbak, sebenarnya panggilan berhijab masalahnya selalu disitu, dianggap gak modis...jadi sekarang mungkin para cewek takkan berpikir dua kali untuk memenuhi panggilan itu yak mbak?

    ReplyDelete
  10. ada kakak tingkatku cowok, waktu kita, para adik tingkatnya, menunjukkan seorang cewek dr jurusan laen yg kecantikannya *wajah* udah terkenal seantero fakultas... dg cueknya si kakak tngkat cuma bilang gini "bysa aja, soalnya gak pake jilbab".. wah trnyata masih ada cowok yg pnya pikiran seperti itu..

    ReplyDelete
  11. dalem banget postinganmu nduk... :)
    gek like this

    ReplyDelete
  12. penggunaan jilbab lambat laun tentu akan sangat beragam, baik itu dari sisi model atau etika, sunnah,etc ibaratnya spt "aliran-aliran" yang ada didalam suatu agama :) artinya akan selalu ada perbedaan, baik itu dari sisi cara pandang dan cara pemakaian, so itu natural aja dari sisi "penampakan" n kalau soal dalam hati itu dah menjadi hak dan urusan mereka pribadi dengan Tuhan sang pencipta.

    ReplyDelete
  13. iya, menurut`ku -yang seorang pria- juga begitu, bahwa kecantikan ntu relatif. Jadi tergantung sudut pandang pribadi aja.
    physically, aku malah lebih suka cewe hitam manis, dan yang rambut bergelombang, ngga kaya iklan shampo ntu..,

    ReplyDelete
  14. Jilbab yang bagus adalah jilbab yang bikin orang gak tertarik sama orang yang berjilbabnya..*menurut gw...

    fitrah: cewek selalu ingin tampil cantik dan menarik, sekalipun dia berjilbab.

    who knows,, i am here for waiting veiled girl and marry her and talk about this.

    ReplyDelete
  15. itu lhooooo yug dibawah kotak hitam ada tulisan "ads by google"
    hehehehe.........
    idblognetwork yg diatas dah kuklik
    iklan telkomsel
    jiahahahaha....

    ReplyDelete
  16. kecantikan dinilai dari innerbeuty nya...

    ReplyDelete
  17. fungsi utama harus diutamakan, menutup aurat.
    tapi, aku jg suka liat cewek yg berjilbab model seprti itu, di jakarta emang banyak deh. tiap lewat komplek menuju kontrakan, waduuhhh.. cantik cantik deh.. hehehehe

    ReplyDelete
  18. Artikel yang indah, semoga banyak dari kita yang bisa menyikapi 'kecantikan' dengan baik.
    Btw, baru tau kalo ada kursus jilbab dan kecantikan buat muslimah.

    Salam.. .

    ReplyDelete
  19. saya suka skali postingan mba yang satu ini..
    keren kata2nya..
    mengambarkan fenomena pemakai jilbab yang ada sekarang ini..
    jadi pengen share link ini ke blog saya..

    ReplyDelete
  20. wah bagus sekali mba'
    menyentuh... dalem...
    ^__^

    ReplyDelete
  21. pertama, dari niat pengguna jilbab itu sendiri... yang mungkin hanya dia dan ALLAH yang tahu :)

    kita belajar dari posting kali ini dek ^^ nice post!!

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Previous Page Next Page Home