Monday, April 11, 2016

BERCERMIN DARI KEJADIAN SONYA DEPARI


Dua bulan terakhir saya memang jarang nonton televisi. Lebih sering baca buku. Namun kejadian mengenai seorang anak perempuan yang masih remaja pula, ngamuk-ngamuk saat ditilang dan mengaku anak jendral ini saya tahu dari berbagai macam media sosial saking berita soal dia sudah menjadi viral dimana-mana. 

Setelah melihat versi video yang lebih panjang di youtube, saya jadi mikir.
'Tradisi' setelah UAN yang diisi konvoi dan semacamnya ini sudah ada sejak lama, termasuk saat saya masih remaja. Setelah kelulusan orang tua bolak-balik melarang saya untuk nggak ikutan beginian. Padahal nih saya juga nggak kepikir, satu sayanya males kotor kena cat yang bakalan bikin lengket itu, dua bebas tekanan apaan wong saya belum dapat sekolah lanjutan kok setelah lulus... masih kepikiran mau kemana habis SMA ini. Sebagian besar teman-teman SMA saya pun juga mikirnya serupa, itu makanya pada adem-adem aja setelah pengumuman nilai UAN dan kelulusan. Yang ada juga tiap ketemu malah jadi pada curhat galau mau sekolah dimana.

Melihat adegan marah-marah karena ditilang itu, sayanya sedih ngelihat kelakuan anak-anak SMA cewek bermobil yang udah ngerasa bebas karena lulus SMA tapi nggak tahu nilai lulusnya berapa (kalau nilai cuma rata-rata 7 mah ya malu atuh sama coretan seragam), dan suami komentar,"Ini masa depan juga masih nggak jelas berani ngelecehin orang macem gini?"

Di isi video itu saya juga heran, atau mungkin ada bagian yang terlewat oleh mata saya, itu apa si anak-anak bandel ini dilepasin begitu saja tanpa sanksi sesuai peraturan atau bagaimana? Kalau memang dilepasin, alasannya apa? Males ribut atau karena ancaman ditandai oleh anak jendral?

Si Sonya dan teman-temannya yang nggak kalah songong ini salah, memang salah banget. Dari omongan nantangin banget, pergi dengan ejekan ramai merendahkan polisi dan klakson mobil panjang, menunjuk-nunjuk muka polwan sambil teriak kalau mau menandai si polwan lantaran dia anak jendral. 

Viralnya video ini kontan bikin dia jadi objek bullyan di akun sosial media milik  dia sendiri, kabarnya ayah dari si Sonya meninggal. Salah satu sebab meninggal katanya karena sedih anaknya di bully, namun benar atau tidak berita ini saya belum jelas.

Apa bedanya kita dengan Sonya di kehidupan sehari-hari?
Dari lahir sampai sekarang, di negara tercinta kita ini saya sudah sering merasakan pelayanan publik yang kurang baik di kantor-kantor pemerintah untuk urusan dokumen dan sebagainya. Yang baru-baru ini saya alami adalah ketika saya mengurus masalah kepindahan kependudukan dari kota asal ke domisili suami. Pelayanan nggak ramah, nggak solutif dan udah deh nggak enak banget, harus terpaksa saya hadapi karena pentingnya data yang harus saya urus. Kayak gini ini mestinya dikurang-kurangi, sudah birokrasi ribetnya minta ampun harus data pengantar inilah itulah eh petugasnya juga minta banget diomelin balik. Dikata kita nggak buang waktu jauh-jauh dari luar kota ngurusin ini biar cepet kelar?

Urusan terkait birokrasi yang ribet seringnya jadi mulus kalau kita kenal dengan orang dalam, atau atasannya dia. Seolah-olah dia hanya kerja professional melayani kita kalau kita punya backing. Sedih nggak sih?

Masyarakat kita sudah terbiasa memakai bantuan untuk memuluskan jalan urusan, apapun itu. Saya bukan tipe yang seperti ini, tapi sedihnya kadang hanya dengan cara minta bantuan baru urusan urgent yang berhubungan dengan birokrasi ini jadi lancar terus juga jadi dapet bonus senyum ramah pula. 

Mestinya urusan yang begini kan harusnya sudah lancar dan dapat pelayanan yang ramah terlepas dari kita yang siapa-siapa atau bukan siapa-siapa ini.

Apa bedanya kita dengan Sonya dalam mematuhi ketertiban di jalan raya?
Belum lagi soal menjadi masyarakat yang tertib di jalan raya. Yang suka naik kendaraan umum lanjut jalan kaki di Jakarta pasti familiar banget dengan seringnya pas sore macet pulang kerja kita jalan di trotoar dapet bel dari orang-orang yang naik motor. Iya motor mereka naik ke trotoar demi nyalip-nyalip menghindari macet. Padahal trotoar adalah wilayah kekuasaan pejalan kaki mestinya, ya kalau nggak ada yang lagi jalan kaki disitu boleh lah ya ditolerir. Tapi kalau kita lagi jalan malah diusir karena mereka mau lewat gimana? Mending diusirnya alus, seringnya ya gitu deh bikin merah kuping :)

Jalur busway yang khusus Transjakarta dan APTB pun juga nggak jauh beda. Banyak kendaraan yang ikutan nebeng di jalur Transjakarta karena pengin lebih lancar jalannya, nggak padat seperti jalur biasa. Memang sih sudah sering ada operasi untuk memberi sanksi kepada pelaku jalan raya yang main nebeng jalur khusus yang seperti ini. Tapi sering banget lho kendaraan milik aparat atau keluarganya atau yang ngaku-ngaku keluarga aparat juga ikutan nerobos, seolah merasa kebal hukum.

Positif thinkingnya : wah mungkin mereka ada tugas urgent kali ah.
Tapi kok keseringan banget saya ketemu yang ginian ya, masa sih semuanya karena urgent tugas? 
Eh ini kalau aparatnya sendiri lho, kalau yang keluarga aparat atau ngaku-ngaku keluarga aparat dengan gantungan atribut aparat, sticker dan lain-lain itu gimana? 
Apa yang bikin mereka merasa segitu urgent sampek melanggar peraturan di jalan?
Tapi ngasih atribut aparat di kendaraan jika dilakukan oleh si pemakai atau pemilik saat ini, saya jadi penasaran alasannya apa sih?
Semoga bukan supaya dapat keringanan atas pelanggaran yang dilakukan ya.

Itu di Jakarta aja kali ah, kota lain sih enggak
Wah masa sih? Di Malang untuk tindakan se-simple menyeberang jalan saja butuh waktu lama buat saya, karena pengguna jalan yang maunya serba diutamakan. Etika pengguna jalan selama yang nyeberang nggak sembarangan kan dikasih jalan, faktanya yang naik kendaraan malah ngencengin laju kendaraannya, jadi yang mau nyeberang ini cengo susah dapat momentum :D

Di Surabaya?
Sering banget nih kejadian saat saya sedang menunggu kereta api yang mau lewat dalam kondisi palang jalan ditutup, nah setiap kali begini ada saja lho orang yang nggak sabar dan memilih resiko mati konyol ketimbang menunggu kereta lewat dan palang dibuka kembali.

Contoh-contoh lainnya banyak dan saya rasa kita sama-sama familiar dengan pelanggaran lalu lintas maupun orang-orang yang ingin diistimewakan meskipun bahkan jelas-jelas melanggar peraturan.

Sonya dkk memang salah, tapi...
Saya nggak bilang dedek Sonya and the gank nggak salah, mereka salah. Banget. Dari sudut pandang peraturan ataupun norma dan kesopanan. Namun ketika kita memilih untuk berpartisipasi dan menjadi bagian dari yang katanya sanksi sosial kepada mereka, ya lakukanlah dengan bijak pula. Nggak pakai makian kebun binatang atau semacamnya juga, nggak terbayang apa kabar tuh dosa kita kalau benar bokapnya dedek Sonya meninggal karena imbas dari sanksi sosial ala ala aka bully-an masyarakat? 

Dia adalah juga bagian dari kita, apa yang dilakukan Sonya mestinya juga menjadi pengingat ke diri kita masing-masing. Pada budaya kita yang demikian mendarah daging untuk tidak sabaran, tidak mau disalahkan bahkan jika benar kita salah, keinginan untuk kebal hukum dengan mendompleng status keluarga atau bahkan citra diri sendiri. 

Apakah kita memang sedemikian jauh dari budaya itu sehingga menganggap diri kita benar dengan bertingkah laku yang kurang lebih serupa namun menyalahkan orang lain karena dia kebetulan lebih terekspos media?

Ya atau tidaknya tidak pernah terlambat bagi kita untuk berhenti sejenak dan mengoreksi diri.


.

13 comments:

  1. Itu dia, kenapa pelajaran akhlak lebih penting, nomer satu. Biar gedenya gak melenceng dari jalur, eh ini masih dedek ya haha..

    Terus yang urusan sama pns kayak urus2 surat, emang mereka tuh sukanya makan duit tambahan, coba kasih duit gampang tu urusan, meski gak kenal orang dalem juga. Ditambah.. Kebanyakan akal akalan, di bayarin pemerintah masih aja minta sama yang harus dilayanin. Kembali kepada didikan dari awal ahahaha.. Yuk ah.. Giliran kita ngasih generasi yang gak kayak generasi sekarang. Paling gak, jujur lah, trus sopan. Jadi apapun mereka nanti, insyaAllah ada dijalan yang bener.

    ReplyDelete
  2. *manggut manggut baca postingan ini*
    Waktu liat facebook postingan soal dek sonya ini juga banyak banget, ada yang bully nya main main malah mau di tandain sama dedek cantik lah ada juga yang bullynya sampe nge hina hina.
    Tapi ada benernya juga.
    bener juga dia salah.
    Bener juga kalau kita harusnya gak mbully separah itu.

    kaget jg ya malemnya bapaknya langsung meninggal.
    Sedih, tapi juga kesel.
    Tapi ya buat ber cermin saja lah.. jangan sampai anak cucu kita nanti begitu.

    ReplyDelete
  3. Nah nah nah, sekarang kekiniannya sih ada buzzer dadakan yang screenshot posting "nyeleneh" di sosial media dengan kata-kata, "Bukannya mau buka aib nih ya, biar malu aja dan terkenal" rasanya kurang setuju aja sih dengan kata-kata seperti itu, daannn setuju banget sama Mba Anyin di poin terakhir. :D

    ReplyDelete
  4. betull, kita masing-masing perlu mengoreksi diri. soal yang busway aku juga setuju, padahal kan sudah ada peraturan dan jalur masing-masing ya. semoga masyarakat semakin tersadarkan ya, untuk mengoreksi diri. tulisan yang menginspiratif!

    ReplyDelete
  5. Bener banget mba, seringkali kita begitu responsif sehingga mengabaikan Think before Talk...
    Perenungan yg indah, Thanks sudah diingatkan :)

    ReplyDelete
  6. Oo kamu kelahiran Malang to, hmm

    ReplyDelete
  7. Wah semoga kta bisa selalu belajar dari kejadian di sekitar ya,jadi pengingat kalau lihat yg buruk jangan sampe kita seperti itu.

    Ulasan yg keren Ninda :-)

    ReplyDelete
  8. Yang aku baca di media sih katanya papanya ini serangan jantung karena rumah mereka kedatangan polisi. trus jadi sakit-sakitan dan yah...

    Agak sedih gitu ya kak nin :(

    Aku sih gak mau ikutan bersuara di socmed soal si sonya ini nih karena terlalu menyedihkan endingnya.

    Ikut nyimak aja buat dijadikan pelajaran hidup

    awesome post kak nin <3

    ReplyDelete
  9. sempat geram juga melihat adegan dek sonya membentak dan mengancam ibu polwan itu, tapi kemudian sedih saat mendengar ayahnya meninggal karena anaknya dibully :(

    kasihan banget, karena kesombongan dan kepongahannya dia jadi kehilangan ayah :(

    gak kebayang juga gimana perasaan ayahnya saat tau anaknya mengaku-ngaku anak jendral untuk mengancam orang lain :(

    ReplyDelete
  10. Ah orang jaman sekarang, apa2 dibully. Ga yg bener, ga yg salah.
    Tapi emang aku jg prihatin sama oknum anak sekolah yg kok omongannya kaya ga disekolahin, emang ga ada pelajaran ppkn?
    Tapi aku termasuk kudet, aku liat status Dari temen di fb,trus nanya, SD itu siapa? Baru browsing eh trus ada kabar lagi bapake meninggal. Kesian ya, ya se sengak2nya orang ttp aja manusia, pasti jg ngerasa kehilangan.

    BTW, masa labil kita sama. Eh berarti aku juga labil dong? Huahahhah

    ReplyDelete
  11. sampe sekarang belum liat videonya :D

    mungkin mereka yang konvoi anak pejabat semua, berduit, yang nggak pusing mikir nanti kuliah di mana. nggak ketrima di negri? bisa kuliah di universitas swasta. *malah ikut ngebully

    kalo di Jakarta, mungkin urusan nyebrang justru lebih gampang dibanding kota lain, karena banyak jembatan penyebrangan. yang susah ya kalo jalan kaki. trotoarnya nggak bisa buat jalan karna dipake pedagang kaki lima :'(

    ReplyDelete
  12. Jadi ngga cuma Jkt aja yah, tergantung masing2 pribadinya. Mungkin tingkatnya lebih tinggi aja kali yah nind. Emang sih birokrasi Negara tercintah masi melelahkan, paling malas deh aku...
    Aku blm liat videonya nind, menyedihkan klo bpknya mninggal gara2 ituu yah

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Previous Page Next Page Home