Tuesday, December 12, 2017

ATTITUDE DALAM JUAL BELI, PERLUKAH?

Kebanyakan pelatihan marketing, atau artikel atau buku-buku yang berkenaan dengan tips berjualan yang baik dan benar untuk mendongkrak omzet dan profit pasti selalu menyebutkan bagaimana karakter seorang penjual yang ideal. Kesemuanya itu juga mengajarkan tentang bagaimana memperbaiki attitude sebagai seorang penjual yang baik, membuat customer mendapatkan interaksi dan  layanan sesuai ekspektasi bahkan lebih sehingga dia akan merasa nyaman dan kembali lagi untuk repeat order kemudian menjadi pelanggan tetap.

Iya, saya memiliki latar belakang pendidikan yang termasuk cukup dan nggak awam-awam banget mengenai marketing. Karena memang sempat mengenyam ilmu marketing di bangku universitas meskipun nggak terlalu dalam karena bukan konsentrasi saya, dan mendapatkan pelatihan-pelatihan serta seminar marketing setelah bekerja meskipun literally saya nggak berada di bawah naungan departemen marketing. Ini disebabkan karena kantor saya berpandangan bahwa semua karyawannya harus memiliki ilmu marketing, selain agar tahu cara bersikap yang benar kepada customer juga karena setiap orang memiliki potensi sebagai marketer baik langsung atau tidak, sadar atau tidak.

Tapi sangat jarang, kalau nggak bisa dibilang nggak ada... bahasan-bahasan mengenai bagaimana menjadi pembeli yang baik dalam konteks umum.

Kita pasti sering banget denger dong istilah bahwa pembeli adalah raja?
Secara nggak langsung istilah ini menjadi pemicu munculnya calon customer dan customer yang bad attitude. Seringkali customer atau calon customer berbuat seenaknya dan bertingkah laku absurd yang tidak cuma merepotkan penjual, tapi juga menguras emosinya karena ngerasa merekalah rajanya. Jadi ya harus banget dilayani dan dituruti seabsurd apapun kelakuannya.

Bagi pemilik usaha langsung, bisa jadi dia punya pilihan untuk memutus rantai jual beli dengan menolak untuk menjual barangnya kepada si customer rese. Seorang teman yang saya kenal pernah melakukannya, menolak menjual barang yang dia niagakan kepada seorang customer karena si customer ini kedapetan menyebarkan hal-hal nggak bener tentang dia dan produknya di media sosial. Padahal saya juga salah seorang pelanggan tetap dari banyak banget loyal customer dari usaha si teman saya ini, dan nggak pernah sekalipun kecewa dengan produknya. Tapi bagaimana kalau... anggaplah seorang customer service yang tugasnya menerima dan menjawab complain customer untuk diselesaikan, mendapat perlakuan yang nggak enak dan menyakitkan dari customer?

Tentu ini dilematis sekali, karena bisa jadi sikapnya menentukan masa depan karir dan kerjanya sendiri. Nggak cuma satu dua, cerita yang pernah saya dengar tentang karyawan yang mendapat peringatan keras, sangsi bahkan dipecat dari kantor tempatnya bekerja karena customer mengadukan perilaku nggak menyenangkan dari si karyawan ini. Memang dalam masalah kayak begini tergantung dari kebijaksanaan perusahaan or let's say pimpinan dari perusahaan itu. Kudunya sih dicari dulu ujung pangkal munculnya masalah sebelum ngasih sangsi berat. Karena meskipun saya sering banget menerima pelayanan dari entah penjaga toko atau bagian CS yang nggak menyenangkan, tapi sebagai penjual juga saya nggak memungkiri bahwa customer rese itu jauh lebih banyak oknumnya ketimbang penjual rese.

Penilaian saya itu nggak berubah untuk kegiatan jual beli secara online.

Seperti yang kita semua tahu, media sosial adalah sarana marketing yang potensial dan sangat empuk untuk mempromosikan produk. Cuma dengan scroll timeline media sosial kita, kita bakalan tahu dimana harus beli pulsa lebih murah dari nominal pulsanya, dimana beli skincare original yang harganya nggak malak banget, dimana beli baju yang nyaman dan seterusnya. Habis itu cari kontak penjual, sapa bentar dan beli -> transfer -> nunggu kiriman barang. Namun seiring waktu dengan kebiasaan belanja online yang semakin sering, semakin sering juga aneh-anehnya. Penipuan berkedok toko online, atau penipuan berkedok pura-pura mau beli barang di feeds penjual online tapi malah nge-hack akun media sosial penjual tersebut untuk menipu customer-customernya.

Kejadian-kejadian kayak gitu yang bikin orang jadi kapok, kemudian lebih memilih bertransaksi melalui perantara e-commerce. E-commerce membuat pembeli merasa aman karena mentransfer uangnya ke rekening e-commerce yang terpercaya, jadi nggak perlu takut pada kemungkinan tertipu karena e-commerce akan memastikan barang sampai sesuai deskripsi kepada pembeli sebelum menyerahkan uang si pembeli tersebut kepada penjual.

Penjual juga terbantu dengan tidak perlu melayani terlalu banyak customer yang kontak untuk tanya-tanya detail barang satu-satu karena terlalu malas membaca keterangan di media sosial atau menghadapi pembeli yang php, bilang mau beli ini itu dalam jumlah besar tapi nggak pernah transfer dan menghilang gitu aja. E-commerce membuat penjual menerima laporan barangnya sudah dibayar siapa dan harus dikirim kemana, menyiapkan barang, packing dan kirim, terima uang dari e-commerce ketika pembeli sudah terima barang. Udah deh terserah uang penjualan toko onlinenya mau langsung ditarik buat diputerin nambah stock lagi atau dipakai buat bayar BPJS Kesehatan bulan itu via ecommerce itu sekalian.

Keduanya diuntungkan meskipun katakanlah lebih banyak menguntungkan pembeli, cukup adil karena pembeli juga pihak yang paling besar potensi dirugikannya dalam penipuan berkedok online shop karena dia kan transfer uang dulu sementara barang belum dikirim. Penjual yang amanah pasti kirim, gimana dengan penjual abal yang dari awal udah niat buruk dengan nggak kirim barang terus pura-pura barang ilang saat proses shipping dan menyalahkan kurir serta semuaaa orang entah adeknya oomnya kakaknya siapapunnya yang jelas kecuali diri dia sendiri *ehem kok rada dejavu dikit ya? :D

Tapi ya gitu, meskipun beli barangnya udah aman banget dan dapat barang sesuai deskripsi dari toko penjual, nggak dapet pelayanan nggak ngenakin juga masih ada aja pembeli yang rese atau memang udah hobi dia bikin susah penjual dengan nggak amanah dalam urusan bermuamalah.

Mau tahu kayak gimana contoh-contoh dari sikap pembeli via e-commerce yang enggak banget itu?
Dibawah ini saya list beberapa yang saya inget:

#1 Nggak langsung konfirmasi ke e-commerce setelah terima barang
Ini yang paling sering terjadi dan paling sering bikin penjual termasuk saya sebel.
Kenapa? Gini lho mbak, mas...
Begitu kamu sudah dapat barangmu dengan selamat tanpa kurang suatu apa, nggak ada complain, apa susahnya sih ngeklik atau mencet tombol di situs e-commerce kalau barang sudah diterima? Beneran deh nggak susah kok, gak butuh waktu lama dan mikir-mikir dulu kayak pas mau mutusin belanja yang mana.

Oke mungkin kamu nggak langsung confirm karena sibuk, belum buka barang dan nggak ada ditempat karena suatu hal tapi gimana kalau itu sudah jadi habit kamu alias udah kebiasaan nggak mau confirm terima barang. Padahal tahu nggak sih, itu sama aja kayak kamu beli barang dan barangnya kamu bawa pulang terus kamu pakai tapi kamu belum mau bayar ke penjualnya.

Karena selama kamu belum confirm maka uang akan terus ditahan e-commerce dan belum diteruskan ke penjualnya. Padahal penjual kan juga butuh uangnya, entah buat diputer jadi modal lagi, bayar sesuatu yang urgent atau buat beli kebutuhan sehari-hari.

#2 Dengan mudah dan tanpa bersalahnya ngasih review jelek
Ada teman saya yang ngalamin ini tapi saya ikutan sebel. Jadi ada pembeli di ecommercenya dia. Begitu barang sampai, iya sih pembeli confirm dan kasih ulasan. Tapi ulasannya itu lho nggak enak banget. Udahlah dikasih rate bintang sebiji, dia bilang produknya kurang bagus padahal dia JUGA bilang dia belum lihat bener-bener, nanti bakalan dia lihat lagi lebih detail. Jahat banget lho, otomatis nilai toko teman saya down dan kayak ada penaltinya gitu kalau toko online di ecommerce dapat bad review. Padahal tahu nggak, barang jualannya teman saya ini aplikasi yang pastinya kudu dilihat dan dipake dulu toh buat tahu bagus nggak-nya. Kalaupun emang banyak kekurangan ya dia bisa terima kok dikasih rate kecil kalau pembeli bisa nyebutin salahnya dimana dan yang perlu diperbaiki apa. Ini sih kayak bilang resto itu makanannya kagak enak padahal gak pernah makan di resto yang bersangkutan.

Ada juga teman yang jualannya selalu banjir testi bagus karena pengemasannya yang rapi tapi suatu hari ada pembeli yang ngereview kalau kemasan dia jelek banget dan dengan sadis ngasih bintang sebiji. Dia dengan berbesar hati message customernya itu tentang saran apa yang kudu diperbaiki, menawarkan diskon dan minta foto kemasan yang jelek itu tapi nggak ada tanggapan. Zzzzz....

Belum lama ini saya juga dapat customer dari ecommerce, ketika barang sampek dia nggak confirm lama banget dan saya jadi ragu mau ngasih nilai reputasi pembeli ke dia karena nilai dia yang nggak 100%. Come on, kok pembeli bisa dapet nilai reputasi jelek sih? Apa yang udah dia lakukan coba?
Tapi sebagai penjual yang udah dibeli dagangannya, I give her super good rate untuk transaksi itu.

Guess what?
Beberapa hari kemudian dia kasih ulasan dong. Dan ulasannya rada nggak nyambung sama bahasan produk. Saya yang ngerasa udah mengirimkan barang dengan secepat mungkin, yakni hari ini terima order besokannya saya kirim dan upload resi, mengemas dengan aman dan ngasih bonus pula meskipun nominal pembeliannya dikit. Tapi dia nggak ngasih review puas bertransaksi sama saya tapi cuma tanda netral alias biasa-biasa aja yang ngaruh banget ke nilai reputasi saya. Sementara nilai reputasi saya sebelumnya nggak pernah kurang dari nilai 'puas' dari customer sekalipun yang beli dengan nominal besar. Jadi itu kayak dapet nilai 7 setelah sebelumnya dapet nilai 10 berderet.

Nggak cukup dengan itu, dia juga komentar tentang pengiriman yang menurutnya cukup lambat dan menggumam bahwa washi meteran yang dia beli kecil. Padahal sudah ada detail size per meter secara gamblang yang saya tulis di data produk. Dan dari jaman majapahit sampek sekarang, panjang 1 meter ya tetep aja sama kan nggak jadi nyusut lebih pendek atau lebih panjang kalau pakai meteran.

Jadi saya pikir inilah sebab kenapa seorang pembeli bisa dapet bad review dari penjual, ya karena dianya nyebelin.

#3 Melakukan poin satu dan poin dua sekaligus, padahal dia orang yang kita kenal sebagai teman
Ini tuh kayak nyiram luka pake air garem.
Perih.
Serasa kena kejahatan terencana.
Yang dilakukan oleh teman sendiri.
Zzzzzz banget banget.

Ya intinya baik penjual dan pembeli memiliki kesamaan yang kudunya sama-sama dijaga, yaitu keinginan untuk diperlakukan dengan baik. Pembeli memang adalah raja yang harus diperlakukan dengan baik, tapi raja yang baik pasti nggak sewenang-wenang dan pengertian kan?

Gimana menurut teman-teman, atau kalau punya cerita terkait topik ini boleh banget loh bagi-bagi :)

3 comments:

  1. Udah menyaksikan banyak banget yang beginian, baik langsung maupun tidak langsung

    Tau akun drama olshop nggak kak?
    Itu tuh, akun instagram yang bikin ulasan seputar kejadian unik, aneh, lucu, ngeselin, dll yang terjadi dalam dunia online shop indonesia

    Tapi kayaknya tau deh ya hahaha
    Aku hampir tiap malam buka akun itu, sama akun drama ojol (ojek online) juga.

    Parah-parahhh, lucu-lucu plus tolol-tolol wkwkwk
    Aku bisa ketawa sampe nangis nangis hanya gara-gara satu screenshot wkwkkw

    Customer jaman now, emang begitu tuh
    Seenaknya, sesukanya
    Mentang-mentang dikatain raja wkwk

    Ehtapi kalau yang offline nggak terlalu sih
    Penjual berkuasa banget. Kesannya :Gak mau beli yasudah, kami gak butuh anda. gitu wkwkwk

    Aku dan temen ku sering ngalamin hahaha

    ReplyDelete
  2. kadang suka ada aja yaa kak Ninda customer yang rese... Semangat terus kak nindaa semoga sukses teruss :D
    Aku jadi kangen nulis blog lagi... udah lama engga nulis gara2 banyak banget tugas kelompok di kampus :')

    ReplyDelete
  3. gamudah ya bertransaksi online itu, walau bisa dilakukan dr rumah. pernah saya jualan online konsumen nanya ini itu 24 jam, padahal di bio dah disebutkan jam kerja toko 8-5 :(

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Previous Page Next Page Home