Saturday, December 23, 2023

SUATU HARI KETIKA HUJAN TURUN DI MUSIM KEMARAU

Beberapa waktu lalu, setelah menyaksikan di linimasa sebuah media sosial dokumentasi perjumpaan kembali dua sahabat di masa tua setelah lama tidak bertukar kabar terpisah jarak dan jalan hidup, saya jadi teringat masa lalu.

Pernah nggak sih punya teman yang nge-klik sama kita meski dengan berbagai macam perbedaan? Teman yang kita miliki di masa muda, di masa sekolah. Bisa jadi saya memiliki beberapa meskipun tidak semuanya saya tahu kabarnya saat ini.

Ada beberapa yang masih terhubung namun mungkin karena perbedaan jalan hidup dan lingkungan, maka masing-masing sudah berubah menjadi sosok berbeda. Mereka sudah menjadi orang yang berbeda, pun begitu juga saya di mata mereka. Mungkin obrolan kami tidak senyambung dulu, kebersamaan tidak lagi senyaman di masa lalu. Entah apa yang hilang, apakah memang chemistry memiliki batas waktu? Sehingga perbedaan tidak mengobrol selama beberapa tahun rasanya mampu membuat dua orang sahabat bisa menjadi dua orang yang berjarak karena 'beda'?

Saya pernah membaca unggahan media sosial seseorang yang saya lupa siapa tepatnya, bercerita tentang kesedihan orang tersebut bahwa semakin kita menua selain teman dekat jadi semakin sedikit, tidak jarang dia juga harus mengikhlaskan hubungan pertemanan yang dulunya begitu dekat namun sekarang sudah berjarak. Mungkin benar tidak lagi ada chemistry kedekatan yang sama. Pikiran sama-sama berubah mengikuti jalan hidup terpisah yang masing-masing dilalui.

Saya sangat sedih membaca unggahan itu, merasa mengalami hal yang kurang lebih sama. Banyak pertemanan yang akhirnya meskipun dengan sedih dan tidak rela namun harus saya ikhlaskan karena rasanya sudah tidak lagi sama. Rasa rindu akan kenangan masa bersama mereka tetap ada, tetapi ketika mencoba mengikat ulang jalinan itu, terasa sudah susah terkait.

Beberapa bulan lalu tiba-tiba saya pengin menyambung ulang komunikasi dengan seorang sahabat, saking lamanya nggak saling tahu kabar satu sama lain. Gimanapun dan apapun yang pernah menjadi sebab kami menjauh, saya mengingatnya sebagai salah satu orang yang senantiasa berada bersama saya dalam masa-masa sulit hidup yang saya jalani. Saya tahu nomor ponselnya yang baru dari keluarga dan komunikasi itu berjalan lancar meskipun ketika menutup obrolan, saya jadi termenung dan berpikir sejenak. Berusaha menjajaki apa yang telah terjadi di masa lalu dan apa yang berubah saat ini. 

"Baiklah, tidak apa," saya bergumam menenangkan diri sendiri. Apapun perubahan yang terjadi ketika kami beranjak dewasa dan ketenangan yang tumbuh seiring menua, saya masih ingin merekatkan kembali kedekatan kami kendati mungkin tidak mendapatkan usaha balik seperti yang saya harapkan, saya tetap lega karena sudah mencoba. Paling tidak ini yang bisa saya lakukan, sisanya tidak bisa saya tentukan sendiri.

Belakangan ini saya juga teringat seorang sahabat saya di masa masih sangat muda, namanya Wati (bukan panggilan aslinya). Hubungan pertemanan saya dan Wati tetap dekat di masa remaja kami meskipun berpisah karena berbeda sekolah. Saya lupa kenapa tepatnya kami kehilangan satu sama lain, sepertinya terkendala komunikasi. Pada masa itu dia tidak memakai ponsel karena orang tuanya belum mengizinkan, kemudian saya merantau bertahun-tahun ke kota lain. Tidak tahu bagaimana cara menghubungi dia lagi dan tidak terpikir juga, terutama dengan berbagai macam permasalahan hidup yang saya hadapi saat itu, membuat saya tidak menyukai ide tentang pulang ke rumah. Sekarang saya jadi merindukan dia, tapi tidak tahu bagaimana kabar dia sekarang serta tinggal dimana, saya sudah lupa jalan ke rumahnya. 

Kabar paling terakhir yang saya dengar tentang Wati adalah bahwa hubungan cinta yang dia jalin sejak SMA terancam kandas karena pihak orang tua si cowok tidak menyetujui hubungan dia dan cowok itu. Pihak orang tua merasa putra mereka yang setelah lulus SMA bekerja menjadi abdi negara harusnya bisa dapat orang yang lebih baik dari sahabat saya yang waktu itu belum lulus SMA dan berasal dari keluarga kelas menengah. Alasan yang membuat saya nggak habis pikir, mengingat mereka berdua masih sama-sama sangat muda.

Saya mengenal sahabat saya ini bahkan sebelum saya baligh, Wati orangnya cantik - waktu itu menurut saya mirip banget dengan Sarahvi. Sudah kelihatan cantiknya meski memiliki kulit acne prone saat sebagian besar dari teman-teman kami termasuk saya masih abg kucel yang tidak pandai merawat diri. Tipe cantik yang tidak mengintimidasi karena secara kepribadian dia super baik dan lucu. Saya ingat dia adalah teman sebangku saya ketika kelas 2 SMP dan tetap dekat meskipun pisah kelas bahkan pisah sekolah setelahnya. Meskipun secara akademis Wati tidak termasuk siswa peringkat atas dan saya sering harus mengajari dia terkait pelajaran sekolah, tapi menurut saya dia tidak bodoh karena diluar itu kami adalah sahabat yang obrolannya sangat nyambung satu sama lain soal apapun. Bersamanya saya merasa slowdown, tidak ambisius terkait akademis dan menjalani masa sekolah sebagaimana mestinya tanpa terbebani. Waktu itu kami hanya masih terlalu muda sehingga belum mengenal dunia, belum tahu sekiranya bidang mana yang akan membuat kami tertarik dan kuasai.

Saya ingat suatu hari sepulang sekolah, saya berkunjung ke rumah Wati, pada suatu siang terik di kota saya. Sore itu kami bersepeda menuju pantai, saya tidak ingat persis bentuk pantainya tapi saya ingat betapa pantai itu cukup jauh dan kami bersepeda berdua berboncengan menuju kesana. Di tengah jalan kami mampir ke sebuah rumah berdinding kayu dengan banyak tetangga yang sibuk menjemur rumput laut, bau asin amis yang menguar dari rumput laut itu rupanya cukup menyengat. Setibanya di pantai, angin memporak-porandakan rambut pendek kami dan membuatnya super kusut. Kami tidak lama berada di pantai itu karena mendung menggelap dan gerimis yang mulai turun. Angin pantai semakin kencang dan keras, jadi kami memutuskan pulang. Hari itu adalah salah satu hari di musim kemarau dan dari sekian banyak hari panas terik, hujan memutuskan untuk membuat dirinya jatuh pada hari itu.

Hari itu saya tidak hanya berkunjung ke rumahnya, saya juga berkenalan dengan sebagian cerita hidup Wati yang sebelum itu tidak saya tahu secara lengkap. Rumah kayu yang kami kunjungi di tengah perjalanan menuju pantai itu adalah rumah orang tua kandungnya dan rumah yang dia tinggali selama ini yang saya kunjungi sejak awal adalah rumah paman dan bibinya. Paman dan bibinya yang tidak memiliki anak mengangkat Wati menjadi putri mereka dan cukup protektif tentang segala hal soal dia. Waktu itu, saya menjadi sedikit memahami mengapa paman dan bibinya begitu protektif.

Bersepeda berdua dari dan ke pantai pada suatu hari musim kemarau yang turun hujan adalah satu kenangan paling kuat yang saya miliki tentang Wati, sahabat masa SMP saya itu. Mungkin karena hari itu adalah hari dimana saya merasa jadi lebih mengenal dia dibanding sebelumnya. Dimana dia menunjukkan sebagian cerita hidupnya pada saya. 

Saya harap sekarang dia dalam kondisi sehat dan hidup bahagia, dan saya akan menemukan dia lagi untuk kembali berbalas sapa meskipun hanya lewat internet, suatu hari nanti. Semoga.

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Next Page Home