Tuesday, May 31, 2022

'PERNAH', BUDAYA JAWA YANG INGIN SAYA TINGGALKAN


Suatu hari, sebuah unggahan posting media sosial cukup menarik perhatian saya. Unggahan seorang artis yang memuat foto anak dan keponakannya sedang bermain bersama. Unggahan yang biasa dan cukup umum sebenarnya, namun yang membuat saya tertarik adalah komentar netizen.

Beberapa akun menegur si artis dan mengoreksi panggilan yang seharusnya tertukar diantara si anak dan keponakan itu. Si anak yang masih bayi harusnya dipanggil abang oleh si keponakan yang anak-anak kurang dari usia 10 tahun karena si anak bayi adalah anak dari kakak sementara si keponakan adalah anak dari adik. Meskipun secara usia si keponakan lebih tua, tapi harusnya dia memanggil abang kepada si bayi karena orang tua si bayi adalah kakak kandung orang tua si keponakan ini.

Komentar semacam ini berhamburan dan yang membuat saya tertarik adalah rasa heran bahwa ternyata budaya semacam ini rupanya masih banyak diikuti orang kebanyakan di tahun 2022 ini. Saya pikir hanya orang-orang tua saja yang masih mengikuti budaya semacam ini.

Budaya semacam ini biasa dikenal dengan 'pernah'. Sewaktu kecil rasanya ini sesuatu yang lazim saja karena memang kebanyakan orang yang saya kenal melakukannya. Jadi ini adalah budaya menilai yang lebih tua berdasarkan urutan lahir orang tua kita di garis saudaranya. Misalnya ayah saya adalah anak pertama, tapi adik ayah saya lebih dulu punya anak. Jadi ketika saya lahir maka sepupu saya harus memanggil saya 'mbak', dan saya memanggil dia 'adik' meskipun dia lahir lebih dulu dari saya. Ini tidak akan terlalu menjadi masalah jika selisih lahir kami hanya sedikit, misal hanya hitungan bulan atau satu tahun saja sehingga kematangan usia dan pengalamannya tidak memiliki banyak perbedaan. Namun akan tidak nyaman sekali ketika selisih usianya jauh bertahun-tahun tapi harus memanggil sebutan kakak kepada sepupu yang jauh lebih muda.

Menyebalkannya pernikahan juga bisa membuat orang yang jauh lebih muda harus dipanggil sebagai kakak. Contohnya kakak ibu saya menikah dengan orang yang jauh lebih muda dari ibu saya, maka ibu saya harus memanggilnya 'kakak' juga karena yang bersangkutan adalah pasangan dari kakak kandung ibu saya. Ibu saya harus memanggil pasangan kakak kandungnya dengan panggilan 'kakak' untuk menghormati si kakak kandung. Ya sebenarnya ini lebih masuk akal sih daripada yang panggilan garis sepupu tadi, namun sepanjang pemikiran saya harusnya pasangan si kakak kandung ini tetap tahu diri bahwa dirinya dipanggil kakak karena menikah dengan saudara yang lebih tua. Bukan lantaran terus jadi ngerasa beneran yang lebih tua dan ngerasa berhak untuk selalu menasehati dan pengin selalu diturutin.

Dalam keluarga saya itu beneran terjadi. Ibu saya punya adik, tante A, teman sekolah tante A ini menikah dengan kakak ibu saya alias pakdhe saya yang menjadikan beliau budhe saya juga. Tentunya saya ngga keberatan ketika ibu saya harus memanggilnya 'kakak', tapi ternyata budhe saya juga memanggil ibu saya dengan panggilan 'adik'. Ya anggaplah karena memang adat turun temurunnya demikian ya...

Namun dengan perjalanan waktu nampaknya budhe saya ini beneran menganggap dirinya kakak untuk ibu saya sehingga mendesak untuk didengarkan dan dituruti, termasuk cara ibu saya merawat anak-anaknya. Pada saat memasuki masa remaja saya masih ingat bertengkar dengan ibu sebelum menghadiri acara keluarga hanya karena ibu saya tidak mau mendengar komentar negatif budhe tentang cara saya berpakaian. Dan itu bikin saya marah, kalau memang ibu saya nggak keberatan dengan cara berpakaian saya lantas kenapa harus lebih peduli ke komentar orang ketimbang anaknya sendiri? 

"Lain kali ibu bilang aja ke budhe urus aja anaknya sendiri jangan urusin anak orang lain toh ibu juga ngga pernah komentar mbak Y anaknya budhe itu mau dipakein baju apa sama orang tuanya!"

Waktu itu saya marah karena ibu saya keceplos cerita begitu, ketika saya beranjak dewasa dan lebih mengerti, saya jadi lebih marah ketika banyak menyadari perlakuan yang diterima ibu saya dari istri kakaknya. Terutama ketika ibu saya meninggal dan perlahan saya tahu banyak cerita lengkapnya. Bahkan sesepele selama ibu saya masih hidup selalu memberikan uang saku lebaran kepada mbak Y ini, tapi saya dan adik nggak pernah menerima uang saku sedikitpun dari beliau. Dan pakdhe entah beneran nggak tahu atau don't care at all. Setelah ibu saya meninggal, saya juga memiliki kekecewaan pada pakdhe saya yang saya rasa banyak menasehati tapi nggak banyak bertindak terkait konflik keluarga yang cukup panas. 

Well anaknya budhe juga mirip sih dengan budhe, berhubung saya harus memanggilnya 'mbak' karena dia anak dari pakdhe saya maka dia sering berperilaku seperti lebih tua dari saya. Secara budaya pernah di adat jawa ini mungkin lazim, tapi secara moral dan sopan santun pada umumnya... ya nggak sopan. Saya ingat saat saya harus bantu mengurusnya ketika harus ujian masuk PTN, bersama banyak teman-temannya lelaki dan perempuan. Saya sanggupi berdasarkan batas kemampuan saya untuk menampung dan menjamu dia, karena saya sudah cukup disibukkan dengan tugas dari kampus dan pekerjaan sampingan. Tapi ya seolah itu ngga cukup, malah dia minta saya untuk mencarikan tempat tinggal untuk teman-teman cowoknya. Ya masih masuk akal sih kalau minta bantuannya tempat tinggal untuk teman ceweknya kan... tapi untuk cowok? Apa dia berekspektasi saya bakalan keluar masuk kos cowok demi nyari tempat tinggal untuk orang-orang yang saya nggak kenal, kenapa saya kudu repot untuk orang-orang yang nggak ada imbasnya dalam hidup saya? Yang kayaknya makasih juga belum tentu.

Ekspektasi saya ya mungkin pas ketemu saya teman-temannya bakal nanya dengan sopan untuk saran tempat tinggal atau apa, saya pengin lihat dulu individunya seperti apa. Kalau kayaknya baik dan sopan, saya ngga akan ragu minta tolong salah satu teman saya yang cowok untuk menampung mereka sementara, toh hanya 1-2 hari. Tapi pas ketemu yah saya nggak dapat kesan itu, nggak dapat kesan sopan dan baik sehingga saya jadi mikir kayaknya menitipkan mereka ke teman saya kemungkinan bakal merepotkan teman-teman saya sendiri, salah-salah malah bikin pertemanan kami jadi nggak nyaman. Karena kesan pertemuan sama teman-teman cowok mbak Y ini nggak oke, saya ngomong ke mbak Y agar temannya cari kos sementara di beberapa titik area kos yang banyak menjadi kosan cowok. I don't care whether they got temporary boarding house or not.

Entah mungkinkah karena orang selalu menarik orang-orang yang mirip dengan mereka jadi teman-teman dekat kita pun biasanya bakal bersifat mirip dengan kita. Atau mungkin mood saya dipengaruhi oleh ketidaksopanan mbak Y yang menekan saya untuk nyari kos buat teman-teman cowoknya sehingga saya udah marah duluan. Secara adat per-pernah-an ini saya memang kudu panggil dia kakak, tapi dia toh tetep bocil yang baru lulus SMA ketika saya sedang dalam tahun ke tiga atau terakhir di masa perkuliahan saya. Yang bagi saya ya dia nggak berhak menasehati saya dengan sok tahu atas suatu masalah ketika dia juga belum tahu apa-apa soal kehidupan di masa perkuliahan. Nasehatin sok tua gitu padahal nggak tahu, beda dengan ketika adik sepupu saya yang lain mengoreksi karena memang lebih tahu.

Kemarahan saya pada perlakuan yang tidak sopan hanya gara-gara budaya pernah ini rasanya bertumpuk terus seiring saya bertambah tua. Bisa jadi budaya ini nggak salah apa-apa, tapi individu yang merasa dituakan dalam sistem ini terus merasa berhak bertindak nggak sopan dan seenaknya lah yang bikin budaya ini buruk banget di mata saya. Seperti di hierarki perkantoran misalnya, nggak jarang orang yang posisinya di bawah saya jauh lebih tua dari saya, malah mungkin seumur oom atau orang tua saya. Mereka sopan dan menghormati saya nggak lantas saya jadi nyuruh-nyuruh mereka untuk urusan yang nggak ada hubungannya dengan pekerjaan, bahkan itu pun nggak lantas bikin saya nggak sopan ke mereka atau ngasih panggilan yang bikin mereka merasa lebih rendah dari saya kan?

Pernikahan saya dengan suami juga cukup membawa insight baru sih, keluarga besar suami tidak mengadopsi adat ini. Semua panggilan didasarkan dari umur. Yang lahir duluan ya dialah yang lebih tua. Jadi semisal adik suami saya memanggil anak dari tante yang lebih muda dari ibu mertua, dia tetap panggil 'kakak'. Demikian juga anak dari pakdhe suami yang masih SD ketika kami menikah, dia tetap memanggil suami dengan 'mas'.

Setelah pernikahan saya dan mengenal keluarga suami, setelahnya saya bertekad untuk menghentikan budaya pernah di keluarga ibu saya. Kayaknya saya bakalan nggak ikhlas kalau suami saya bakal diperlakukan nggak sopan sebagaimana ibu saya dulu, cuma karena budaya ini.

Ketika awal pernikahan saya, suami saya yang merasa bahwa mbak Y yang jauh lebih muda dari dia ini bisa dipanggil dengan nama aja. Jadi saat usai sebuah acara keluarga dan bersalaman dengan budhe, dengan polosnya dia bilang ke budhe belum sempat berpamitan sama Y. Mendengar itu budhe melotot dan mengoreksi, "Mbak Y!" suami saya yang bingung nanya ke saya setelah pulang.

Saya cuma ketawa aja dan bilang kalau nggak usah menghiraukan koreksinya budhe ini. Tetaplah panggil dia dengan Y, urusan panggilan pernah dan adatnya ini biar aja berhenti di saya. Nggak, pasangan saya nggak boleh mengalami itu.

Ketika mbak Y ini menikah pun keluarga budhe ini berekspektasi saya bakal panggil suaminya mbak Y dengan sebutan mas. Yang ada saya nulis di WA keluarga bahwa budaya pernah ini cukup berhenti di saya aja kalau memang mau diteruskan. Untuk para menantu keluarga ya cukuplah hargai yang lebih duluan lahir berarti memang layak dipanggil dengan panggilan 'kakak', budaya ini berhenti di para sepupu saja, tidak meliputi pasangan mereka. Yang berarti saya nggak akan panggil suaminya mbak Y dengan sebutan mas. I don't even care kalau mereka keberatan atau apa. Toh selama ini mayoritas ingatan yang mengendap di kepala saya tentang keluarga mereka lebih banyak part pelitnya, membedakan keluarga ipar dengan kandung yang jomplang dan lepas tangan cuma kasih nasihat kosong ketika kami butuh bantuan aksi nyata.

Saat ini saya menganggarkan budget untuk kirim hadiah ke tante-tante dan keluarganya yang setelah ibu saya meninggal luar biasa banyak membantu saya dan memiliki posting tabungan membeli emas untuk budhe saya itu. Kenapa ke budhe malah ngasih emas?

Karena beliau pernah memberi hadiah emas kepada saya waktu saya menikah, saya sudah membelikan kado anaknya pakaian seharga 1juta, dengan beberapa hal lain yang pernah budhe berikan kepada saya ditambah nilai inflasi, saya berniat mengembalikan dalam bentuk emas yang lebih mahal karena di mata saya ini seperti hutang yang harus dilunasi. Saking masih eratnya diingatan saya ketika saya dan adik kesulitan keuangan dan beliau memberikan uang 200,000 dengan nada marah, kesal dan terpaksa. Padahal dia tidak berencana memberikan kami uang saku. Jadi saya terima uang itu dengan mencatatnya dalam hati bahwa ini adalah hutang yang harus dibayar, bukan sedekah.

Berbeda dengan perhatian dan uang saku dari tante oom yang lain yang selalu tulus berapapun nominalnya, maka saya tetapkan budget untuk mereka pun unlimited selama saya lapang rezeki.


1 comment:

  1. adat oh adat. ya begitulah.
    aku kangennnn main kemarii

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Previous Page Next Page Home