from travel's site
Kemarin saya ngobrol sama salah seorang teman baik yang ngajakin nonton film "Dibawah Lindungan Ka'bah" mungkin sekitar setelah saya pulang dari mudik lebaran. Ngomong-ngomong soal Dibawah Lindungan Ka'bah, saya jadi ingat buku kumal bersampul bening di perpustakaan jaman saya SMP, ngga terlalu tebal kok... cenderung tipis malah. Buku itu karya Hamka, salah seorang sastrawan yang terkenal di jamannya (saya ngga jelas juga termasuk angkatan mana beliau ini tapi well, saya bisa ingat detail juga ya... coba kalau ditanyain buku Fisika saat itu yang saya pakai karangan siapa dan gimana bentuknya*hahahha LOL). Kalau ngga salah juga pernah saya pinjem tapi entah batal dibaca atau saya yang lupa ceritanya, tapi saya baru kepikiran aja sih kalau karya-karya jaman dulu itu jarang yang tipis-tipis, biasanya roman dan tebel yah gimana ngga tebel kalau isi roman itu sendiri menganut satu standar yang sama : menceritakan kehidupan tokoh utama sejak kanak-kanak hingga meninggal.
Saya ingat roman "Salah Asuhan" yang saya baca ketika saya SD. Bukunya bersampul kuning dan menurut saya agak aneh, ada halaman-halaman tertentu yang kosong, ada alur-alur yang terlihat hilang atau kepotong. Ini penerbitnya pusing kali ya, batin saya. Saya penasaran dengan buku itu hingga berhasil saya temukan ketika saya SMP di rak perpustakaan, bisa bebas minjem kapanpun karena kayaknya cuma orang-orang cupu macam saya yang tertarik dengan jenis buku jadul seperti itu. Setelah menemukan buku "Salah Asuhan" di rak perpustakaan SMP saya baru paham kalau buku aslinya tebal, buku tipis sampul kuning yang saya baca waktu SD adalah versi tidak lengkapnya, atau ringkasan meskipun agak maksa penempatan alurnya. Jadi mungkin "Dibawah Lindungan Ka'bah" juga sama seperti itu, versi yang asli tebal... ada yang mau menambahkan info?
Roman dan berbagai macam tulisan jaman dulu juga punya satu kesamaan, bahwa kebanyakan ditulis dengan sad ending yang kental... bikin depresi bagi pembaca seperti saya karena sepanjang perjalanan hidup tokoh banyak sekali cobaan dan penderitaan dalam hidupnya eh udah gitu sad ending pula entah gila kemudian sakit dan mati atau bunuh diri atau apalah. Mengenaskan.... kalau dipikir-pikir juga ni orang kapan senengnya ya? Sepertinya "Dibawah Lindungan Ka'bah" juga menawarkan ending yang serupa. We'll see at cinemas... Bagaimanapun ditengah krisis script yang berkualitas, pengambilan karya Hamka ini menjadi sebuah film juga merupakan langkah yang bagus.
Ngomong-ngomong soal Ka'bah akhir-akhir ini saya sering lihat status kawan-kawan di kandang socmed menyajikan status soal kerinduan mereka tentang tanah suci. Kapan ya saya menyaksikan sendiri Ka'bah, kapan saya bisa ada disana kira-kira dengan uang hasil keringat saya? Suatu hari tentu saja, yang semoga saya masih sempat berada disana sebelum nafas saya berhenti. Sekali saja dalam hidup saya sudah cukup untuk berhaji dan semoga kesepakatan hati saya ini tidak berubah dimasa-masa mendatang ketika uang saya sudah lebih dari cukup. Ngga ada yang bisa mencegah kita menggunakan uang kita sendiri. Tapi berhaji bukan satu-satunya pilihan untuk diulangi ketika kita sudah pernah menunaikannya. Sejenis wisata batin mungkin bagi sebagian orang, wisata batin yang menyenangkan diri sendiri. Sementara ada banyak alternatif memanfaatkan uang itu untuk banyak kebahagiaan orang lain selain kita.
Ngga cuma sampai disitu, yang paling menarik minat saya adalah paket wisata muslim yang disediakan (sepertinya) untuk orang-orang seperti saya yang kepingin traveling ke berbagai belahan dunia lain (terutama di tempat-tempat cantik yang mayoritas penduduknya bukan muslim) tapi parnoan dengan camilan, makanan (halal ngga ya, halal ngga ya?) atau berbagai prosedur dan aturan tertulis atau tidak tertulis (hukum adat) yang mesti ditaati pendatang ke negara tersebut. Sementara itu berita-berita yang beredar dan sampai ke telinga kita mengenai negara-negara tersebut juga kayaknya ngga ramah-ramah amat bagi seorang muslimah yang begitu jelas identitasnya, yaitu kerudung.
Traveling ke belahan dunia lain selalu menjadi salah satu diantara deretan impian saya, meskipun sampai sekarang belum kesampaian karena kekatroan saya sendiri dan tentu saja, biaya *nyengir*. Nabung Nin, nabung! *menyemangati diri sendiri*.