Tuesday, December 10, 2019

CERITA GULA JAWA

Saya biasa minum kopi hitam yang telah melalui proses penyaringan dengan coffee filter. Sekian bulan terakhir, saya sudah terbiasa untuk meminum kopi hitam tanpa tambahan perasa lain. Bahkan stevia pun tidak.

Tapi ada kalanya juga saya ingin jajan kopi kemasan yang jenisnya macam-macam dan sedang marak dimana-mana. Gerainya selalu terlihat dipadati pengunjung di mall-mall besar. Suatu waktu saat sedang berkunjung di sebuah kedai kopi di luar kota yang saya sukai, mata saya menangkap bongkahan-bongkahan gula jawa. Sejak itu jika sedang ingin es kopi hits, alih-alih membeli saya membuatnya sendiri di rumah dengan susu full cream dan gula jawa yang dicairkan. Tentu saja dengan segala trial and error diliputi kesotoyan penggemar kopi yang tidak pernah belajar membuat kopi yang benar. Setidaknya gula jawa di dapur tidak terlalu lama utuh di toples karena jarang dipakai untuk memasak.

Hari ini adik saya datang ke rumah, dia juga seorang peminum kopi dan pecinta es kopi susu hits. Saya merasa harus membuatkannya untuk diminum di rumah dan dibawa ke kosannya. Kopi panas yang selesai proses filter sudah siap.

Saya menakar gula jawa dengan mengirisnya. Saat sedang mengiris sebongkah gula jawa dari toples dapur, saya jadi teringat seseorang. Nenek gula. Seseorang yang sangat erat kaitannya dengan masa kanak-kanak saya.

Saya memanaskan potongan kecil gula jawa dengan sedikit air. Sembari menunggunya leleh, ingatan saya kembali ke masa kanak-kanak dan tentang nenek gula.

Saya tidak ingat siapa namanya sebenarnya, pun saya juga tidak begitu ingat nama apa yang digunakan teman-teman saya untuk memanggilnya. Yang jelas beliau adalah seorang nenek-nenek renta yang menjual gula jawa. Dia sering berada di serambi sekolah dasar tempat saya bersekolah, memakai kebaya dan kain yang nampak sudah agak lusuh meskipun bersih. Membawa bak bambu yang digendong berisi jualannya. Bak itu berisi bungkusan-bungkusan panjang daun pisang yang didalamnya ada gula jawa dalam bongkahan kecil-kecil hingga mirip kue karena kita bisa dengan mudah memeganginya menggunakan jari telunjuk dan jempol saja. Masing-masing bungkus daun pisang berisi beberapa gula jawa mungil, mungkin sekitar 5 atau 6 buah. Saya lupa tepatnya.

Nenek itu menjajakan gulanya di serambi sekolah dasar kami. Mungkin sasaran sebenarnya adalah para guru dan orang tua murid yang sekiranya singgah mengingat SD kami bersatu bangunannya dengan taman kanak-kanak yang siswanya masih diantar jemput orang tua. Tidak ada anak SD yang diantar jemput orang tuanya saat itu, kami merasa sudah cukup besar sehingga diantar jemput orang tua ke sekolah nampak memalukan dan terlalu manja.

Tapi lucunya yang membeli jualan nenek itu justru kebanyakan adalah kami-kami ini. Nenek gula senang karena dagangannya langsung habis saat jam istirahat dan beliau bisa pulang. Yah sebenarnya tidak lazim bagi anak-anak seperti kami untuk membeli gula jawa ketika istirahat sekolah dan memakannya seperti kudapan. Bahkan untuk ukuran orang desa seperti kami, gula Jawa memang rasanya manis namun pemakaiannya digunakan untuk campuran sebagai pemanis seperti bubur, es dan seterusnya. Bukan sebagai permen dan camilan.

Alasan kami membelinya tidak lain karena kasihan pada nenek gula yang kerap kali duduk menggelosot di dekat gapura sekolah yang kotor bersama dengan dagangannya. Seringkali dagangannya habis kami beli, namun tidak jarang juga masih cukup banyak tersisa. Pada tahun-tahun itu harganya sangat murah, sekitar 100 rupiah satu bungkus daun pisang. Mungkin nilai yang setara dengan 500 atau 1000 rupiah saat ini, mengingat waktu itu uang jajan saya hanya 300 IDR.

Kalau saya ingat-ingat lagi, ini mungkin bukan sesuatu yang istimewa di sekolah lain. Namun perlu saya tambahkan bahwa kebanyakan teman-teman sekolah saya berasal dari perekonomian menengah kebawah. Keluarga petani, buruh tani atau pekerja serabutan dengan penghasilan pas-pasan. Kadang ketika bekerja kelompok, alih-alih belajar di rumah sampai jamnya selesai, sebagian waktunya justru digunakan untuk memanen tanaman di sawah. Namun entah bagaimana masih memiliki empati dan syukur yang lebih dari cukup untuk meringankan beban nenek-nenek penjual gula jawa di gerbang sekolah. Meskipun sedikit, paling tidak masih merasa lebih beruntung dari nenek gula.

Cerita ini rupanya tidak berhenti disitu, setelah saya luluspun adik saya kadang masih membawa pulang gula jawa dalam bungkus daun pisang yang dia beli bersama teman-temannya. Nenek gula rupanya masih sering membawa dagangannya ke sekolah kami jika masih tersisa setelah seharian dia tawarkan berkeliling. Dan tanpa sadar sudah hampir 20 tahun berlalu dari hari-hari itu. Saya tidak tahu bagaimana kabar nenek gula, kemungkinan beliau sudah tiada. Entah apakah keluarganya masih melanjutkan berjualan gula jawa. Kalaupun masih, saya harap mereka masih dapat merasakan zaman dimana gula jawa alias brown sugar naik pangkat sebagai bagian dari fussion drink kekinian, dari boba hingga es kopi susu kemasan. Pastinya harganya tidak lagi sedih dan sepi peminat dibandingkan masa itu.

Gula jawa yang saya masak sudah mencair, saya menuangnya ke dalam botol kaca dan membiarkannya mendingin sesuai suhu ruangan sebelum diracik menjadi es kopi susu dan sisanya disimpan dilemari es untuk konsumsi berikutnya.

Saya belajar lagi kali ini, melalui ingatan saya di masa silam jauh dalam memori kanak-kanak. Tentang rasa syukur dan empati, serta keinginan untuk memberi pertolongan semampunya meskipun sekilas tidak berarti. Namun uluran tangan anak-anak sekolah dasar dengan uang saku yang tidak banyak itu, paling tidak mampu menerbitkan senyum cerah di wajah nenek gula yang kelelahan berkeliling desa berjalan kaki menjual gula-nya yang masih tersisa banyak. Gula-gula itu justru habis di gerbang sekolah dasar desa biasa, berisi anak-anak biasa yang bukan dari kalangan berkecukupan.

Saya tidak tahu apakah teman-teman saya masih berlaku sama seperti saat itu jika dalam aspek empati dan memberi. Mungkin masih sama, mungkin juga sudah berubah karena tergerus tuntutan zaman yang kejam terhadap perekonomian rumah tangga. Tapi kenangan masa kecil itu sudah cukup untuk mengingatkan diri saya sendiri betapa rasa syukur mampu menuntun kita untuk berbuat lebih banyak. Karena merasa cukup, kita sanggup memberi dan membantu orang lain yang kita rasa lebih kesusahan.

Entah apa jadinya jika yang terjadi malah sebaliknya. Merasa kurang dan tidak mampu sehingga abai dengan kesusahan orang lain.

2 comments:

  1. Selalu suka cerita mba ninda. Sederhana tapi dalem :')
    Aku juga suka bangettt minum kopi mbak, tapi kopi kemasan, wkwkwk. Ini sedang berusaha ngurangi kopi kemasan. Dan sama, aku menggunakan gula jawa atau gula nira sbg pemanis. Susunya aku ganti sama fiber creme.

    ReplyDelete
  2. gambar-gambarnya bagus ih. lucu :D

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Previous Page Next Page Home