Thursday, December 20, 2018

A SMALL STEPS TO BE LESS WASTE LIFESTYLE

Nonton film Aquaman kemarin ini, beberapa kali bahasan soal isu sampah yang mencemari lautan menjadi topik dalam film superhero ini. Sampah dari daratan tidak hanya mencemari ekosistem laut tapi juga banyak membunuh hewan-hewan laut.

Masih mau cuek soal sampah dan menganggap bahwa kita sudah cukup berkontribusi pada perbaikan kerusakan dengan hanya membuang sampah pada tempatnya, padahal ternyata tindakan ini saja tidak cukup solutif?

Pemerintah menyediakan pemisahan tong sampah antara sampah organik dan non organik. Namun penggunaannya belum maksimal karena tidak disertai dengan penyuluhan ke masyarakat dan kebijakan yang mengikat terkait sampah. Masyarakat sering masih kebingungan apakah sampah mereka tergolong organik atau non organik.

Belum lagi pengelolaan sampah yang meskipun tempat sampahnya sudah dipisah tapi ketika petugas kebersihan datang untuk mengangkut sampah, mereka langsung memasukkan sampah yang berasal dari dua tempat sampah organik dan non organik ke tempat yang sama.

Hmm kurang optimal ya kan?

Sebenarnya hal ini dulu tidak merisaukan saya, mengingat saya tinggal di area yang masih terhitung pedesaan dan sebagaimana kebiasaan masyarakat sekitar tempat saya tinggal, kami memiliki sistem pengolahan sampah sendiri. Sampah organik seperti sampah rumah tangga, kotoran ternak, sampah pertanian, disatukan dalam lubang pembuangan sampah yang kebanyakan masing-masing rumah memiliki area sendiri untuk ini. Jika tidak punya, mereka akan melakukan pengolahan sampah diladang yang sedang tidak ditanami. Kebanyakan dengan cara dibakar dan dibiarkan untuk mepercepat penyatuan sampah yang mereka kelola. Kemudian ketika masa bertanam, sampah digunakan untuk pupuk.

Kemasan makanan, minuman plastik dan kaleng-kaleng mereka kumpulkan untuk dijual kepada tukang rosokan. Hasilnya tidak banyak dan tidak selalu ditukar dengan uang, kebanyakan ditukar dengan kerupuk atau makanan sejenis dan penduduk sudah senang kok.

Kantong plastik yang mereka dapatkan dari pasar atau wadah belanjaan juga biasanya dikumpulkan, direuse untuk dipake ulang sebagai kantong plastik juga atau dilelehkan sebagai alat tambal panci, wajah dan alat-alat keperluan rumah tangga lain yang bocor. Berguna banget dan nggak cuma dibuang jadi sampah.

Bisa kita lihat disini bahwa pengelolaan sampah rumah tangga penduduk pedesaan relatif lebih baik ketimbang penduduk kota meskipun secara pendidikan, mereka masih mengekor. Namun untuk lingkungan saya yang kebanyakan mungkin hanya tamatan SD, SMP atau bahkan generasi tua yang tidak mengenyam pendidikan formal, pengolahan mereka sudah sangat baik kok. Meskipun sampah-sampah kemasan makanan kecil juga masih mereka kelola kebanyakan dengan cara dibakar atau untuk tambahan pembakaran tungku tanah liat saja, tidak banyak yang dimanfaatkan kembali menjadi barang lain.

Penduduk kota memiliki pendidikan yang cukup dan wawasan yang lebih baik soal persampahan tapi ironisnya kebanyakan mereka tidak memiliki kepedulian bahkan keengganan mengelola sampah rumah tangga yang mereka hasilkan sehari-hari sendiri meskipun mengetahui isu-isu lingkungan karena kecepatan teknologi informasi.

Mungkin mindset bahwa berurusan dengan sampah adalah pekerjaan yang kotor sehingga kesadaran kita masih sangat rendah dalam pengelolaan sampah.

Berhubung merantau, sistem yang sama tidak bisa lagi saya lakukan karena umumnya di perkotaan memang tidak ada warga yang memiliki sistem pengelolaan sampah sendiri. Mereka bergantung pada petugas kebersihan dan pemerintah. Berasa bangetnya itu ketika petugas kebersihan sedang absen karena urusan atau karena sakit. Sampah warga per rumah jadi penuh semua dan banyak lalat. Belum kalau kena air hujan, semakin bau deh sampahnya.

Seorang teman saya, cukup sering mengkampanyekan less waste lifestyle melalui update sosial medianya. Oke, mungkin banyak orang yang sudah menjalani no waste lifestyle tapi terus terang sih kalau saya pribadi masih jauh dari mampu, kebanyakan teman-teman mungkin juga begitu.

Bagaimanapun, sebuah langkah besar selalu diawali dari yang kecil kan? At least mulai dengan mengurangi produksi sampah kita, alias less waste lifestyle. Less waste lifestyle adalah bagaimana cara mengelola sampah rumah tangga dengan lebih bertanggung jawab (karena toh itu juga sampah kita), update si teman ini terus terang banyak membuka wawasan saya.

Selama ini, sehari-harinya kami juga sudah berusaha memilah sampah karton dan botol atau gelas minuman plastik. Sampah organik masuk kantong plastik yang self destruct itu loh... semacam yang dari minimarket. Nggak tahunya ternyata plastik yang memecah menjadi serpihan itu bukannya berarti bisa terurai, cuma memecah jadi microplastic yang sama buruknya bagi lingkungan. Bahkan mungkin malah lebih buruk. Begitu juga plastik bekas bumbu dapur atau makanan instan, langsung masuk aja ke keranjang sampah. Padahal kalau dicuci bersih, Bank Sampah kota kami ternyata mau lho menerima plastik-plastik bekas bumbu tersebut. Mencuci bersih kemasan juga mempermudah sampah untuk dikelola lanjutan.

Pengelolaan sampah organik non hewani yang berasal dari dapur, bisa diolah sendiri dengan komposter sederhana menjadi pupuk organik untuk tanaman. Sementara sampah organik hewani yang berpeluang menimbulkan bau busuk, dapat diolah dengan pembuatan lubang biopori dan dimasukkan kedalamnya. Pengen banget jadinya saya punya komposter sendiri di rumah untuk mengelola sampah dapur kami sendiri serta lubang biopori, jadinya sampah berkurang dan nggak bau. Traumatis banget sama sampah berbau busuk yang dikerubungi lalat terus telurnya menetas dan larvanya seolah berpesta pora. Hih ngeriiii!

Tapi ya karena sekarang belum punya lubang biopori dan komposter sendiri, untuk saat ini saya sudah menjalankan beberapa cara seadanya tapi bisa dibilang cukup efektif mengurangi sampah kami.
  • Untuk sampah hewani yang kering seperti tulang-tulang saya cuci bersih dan bungkus daun atau kertas sebelum dibuang ke tempat sampah.
  • Sampah kantong dan kemasan plastik selalu saya usahakan cuci bersih dan satukan dalam satu wadah plastik.
  • Memisahkan botol dan gelas plastik, kotak susu berfoil yang sudah dicuci bersih dalam kotak kardus
  • Sampah dapur basah non hewani seperti sayuran biasa saya cuci dan keringkan baru dibuang ke tempat sampah
  • Sampah dapur basah hewani seperti sisa daging, telur yang telanjur bau, saya potong-potong kecil kemudian buang ke WC.
  • Pakai ulang semua yang bisa dipakai ulang, baik kantong plastik, kantong kertas dan kemasan paketan seperti bubble wrap dan dus box. Agar semaksimal mungkin bisa kepake, otomatis sampah kita jadi berkurang juga dengan ini lho. Makanya jangan heran kalau belanja di toko online yang saya kelola pasti sering pakai dus box kemasan barang lain atau plastik belanja dari brand lain. Ya selagi masih bisa dipake dan bermanfaat kenapa langsung buang, ya kan?
Langkah paling gampang kalau kita nggak mau susah mikirin pengelolaan sampah rumah kita, ya jangan nyampah!
Karena malas pusing dan ribet-ribet itu, makanya seminimal mungkin saya usahakan untuk tidak memproduksi sampah. Caranya dengan hal-hal simple ini:
  • Membawa kotak-kotak food container sendiri dan tas kain kalau ke pasar tradisional. Pasar tradisional efektif lebih ramah lingkungan karena banyak raw food yang dibungkus dengan kertas aja atau tanpa pembungkus. Kalau di supermarket mau tidak mau kita berurusan dengan clingwrap pada tiap produk raw food.
  • Memilih makan ditempat setiap mampir makan ke resto dan wanti-wanti agar minumannya disajikan tanpa sedotan. 
  • Karena saya juga demen jajan, jadi saya juga sering bawa tempat makan kecil untuk tempat jajanan kalau saya lagi tergoda jajan. Kalau nggak bawa ya nyari yang bungkusnya kertas makanan, bukan kertas minyak karena kertas minyak yang coklat itu kan juga sama aja sih, berlapis plastik.
Gimana, masih mau cuek-cuek aja dengan bumi dan ekosistem kita? Kepikiran nggak apa jadinya bumi ini kita wariskan ke generasi setelah kita kalau kita bodo amat dengan lingkungan?

Yuk mulai peduli sekitar dan meskipun kita tidak bisa menjangkau semuanya, ingatlah bahwa segala hal dimulai dari yang paling kecil: diri kita sendiri. Marilah paling tidak bertanggung jawab dengan limbah dan sampah yang kita hasilkan sendiri.

Apakah teman-teman sudah melakukan pengelolaan sampah rumah secara mandiri? Sharing yuk!

--------------------------
Update 9 April 2018
- Sampah hewani seperti tulang dan sisa makanan yang padat sudah tidak lagi saya buang di tempat sampah. Simply saya taruh saja di halaman, di atas tanah. Biasanya dalam hitungan jam atau besoknya sudah hilang, sepertinya dimakan tikus atau kucing. Jadi sampah hewani sudah tidak lagi menjadi masalah bagi saya.
- Sisa makanan yang cenderung basah dan tidak mungkin dikonsumsi masih WC solusinya.
- Cabe yang tidak terpakai saya tempatkan diwadah terbuka dan ditaruh di dalam kulkas sampai kering, kemudian tabur di pot, akan tumbuh jadi tanaman cabe
- Sebagian kulit buah saya olah menjadi ecoenzim, nanti kapan-kapan bahas soal itu ya
- Masih bingung bagaimana menangani sampah sayuran sementara si suami belum mau beli komposter. Sepertinya tetangga belum ada yang sadar soal beginian. Apalagi kalau jumlah sayurnya banyak karena sehari-hari saya banyak banget makan sayur. Sudah berusaha milih yang bisa dikonsumsi semua bagian seperti sawi putih dan pokcoy sih tapi kok tetep aja ada sampahnya *fyuh.

6 comments:

  1. Pengelolaan sampah di kampus ku juga malah masih ga efektif banget, walau sudah ada tempat sampah yang dipisahin sesuai jenisnya. Tapi anehnya masih ada juga tempat sampah yang ga dipisah jadi kesan nya ga konsisten gitu hahahaha XD Btw film aquaman seru banget ya kak Ninda :D

    ReplyDelete
  2. Kalau menurut pengamtan saya ,sebenarnya orang kota juga lebih perduli dengan sampah. Hanya masalahnya tempat membuang sampah itu yang terbatas. Seandainya ada, jam angkut sampahnya juga tidak pasti.

    ReplyDelete
  3. Bener banget !
    Kemarin waktu nonton film aquaman sedikit terhenyakkk karena ya gitu, kita tanpa sadar menggunakan plastik yang nantinya akan terbuang ke laut dan mencemari laut.

    Tapi aku baru tau tentang biopori.. Bagus ya kalau setiap keluarga atau setiap rumah punya yang kayak gitu.

    Dan ngomong ngomong soal hidup di desa, iya banget. Aku dulu sebutnya "Juglangan"
    Jadi kalau misal ada sampah di buang ke juglangan, nanti dibakar. Aku paling seneng nemenin ayah bakar bakar sampah, meskipun bau asepnya bikin baju susah di cuci (kata ibuk) tapi kalo di Inget inget memang iya yaaa
    Proses pengolahan sampah di desa lebih mudah, karena ada juglangan tadi wkwkkw

    Kalau di kota ?
    boro boroo ada juglangan

    ReplyDelete
  4. aku setuju nih, kalo belanja sebisa mungkin pake tas kain dan ngurangin sampah. Kalo makan harus habis (jadi ngga banyak yang kebuang) dan misahin sampah ngebantu banget. Kalo disini sekarang lagi ngetren ecobrick jadi bikin batu bata dari sampah plastik gitu mba. aku belom coba sih tapi kayanya seru juga

    ReplyDelete
  5. mulai aware sih sekarang Nin, alhamdulillah makin banyak yg teredukasi akan hal ini

    ReplyDelete
  6. kudu bawa sedotan yang besi sekarang
    go green

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar tanpa link hidup ya... Komentar dengan link hidup akan dihapus :)

Previous Page Next Page Home